Copyright © About Story
Design by Dzignine
Selasa, 10 Desember 2013

Hanya Aku?

Langkah kaki  ku entah terasa semakin sulit untuk beranjak dari tempat ini. Berharap nanti disana aku juga akan menemui tempat senyaman ini. Pikiranku kembali melayang-layang mengingat dan memutar video-video yang terekam di otakku.
Sekarang pukul 16.00, dan aku masih betah hanya duduk memandangi orang-orang berlalu-lalang di depanku. Memandangi wajah lelah mereka yang seharian ini menghadapi boss yang disiplin dan tidak mau tau, wajah-wajah keriput yang saling bercengkrama, wajah ceria kanak-kanak yang bermain dengan orang tuanya, dan..yah, wajah bahagia mereka yang sedang bergandengan tangan tanpa peduli orang-orang di sekitarnya. Bisa saja di sekitarnya baru saja ada pasangan yang menghentikan kisah muda-mudi mereka, bisa saja di sekitarnya seorang jomblo merasa miris kapan dia akan merasakan bergandengan tangan dengan “pacar”nya, dan bisa saja di dekat mereka seseorang sedang merasa kesepian, tanpa ada yang peduli padanya, tanpa ada yang menanyakan kabarnya, tanpa ada yang menghawatirkan keadaannya, benar-benar tidak ada.
Aku menarik nafas panjang dan segera bangkit dari bangku tua ini. Tuhan benar-benar telah membuatku semakin miris, semakin merasa tak karuan. Kenapa? Apa salahku?
Aku berjalan loyo menuju halte bis yang tidak jauh dari tempaku duduk tadi. Dua hari lagi aku akan meninggalkan tempat ini, kotaku..negara ku. Tempat dimana aku membuat cerita  hidup ku sendiri, terlalu banyak kenangan yang akan kutinggalkan disini. Semuanya. Aku tidak akan membawa kenangan itu bersamaku. Dan adakah yang tahu aku akan pergi? Yah, hanya keluarga ku di rumah. Hanya itu, dan memang hanya mereka. Mereka saja sudah cukup bagiku, tidak usah yang lain!
Aku mengurus sendiri keperluan keberangkatanku, hanya dibantu oleh seseorang yang kebetulan waktu itu berbaik hati menawarkan diri ingin membantuku. Apa aku mengenalnya? Tentu saja tidak!
Disini aku benar-benar merasa tidak punya siapa-siapa, kecuali Tuhanku dan orang-orang di rumahku. Seorang yang benar-benar kujadikan sahabat, bersama-sama menyusun cerita perjalanan hidup kami, mungkin, sudah melupakanku. Oh, mungkin kata “melupakan” terlalu jahat. Mencampakkan. Aku mungkin sudah tidak dipercaya lagi karena kesalahanku di masa lalu. Dulu aku memang masih menjadi remaja yang labil dan gampang sekali tersulut emosiku, aku sadari itu. Aku sudah meminta maaf, dia bilang sudah memaafkanku. Tapi dimaafkan sekaligus dicampakkan benar-benar menakutkan bagiku. Dan aku takut tetap berada di sini.
Bukan hanya itu, aku sadar aku telah melukai hati yang lain juga. Ini salahku lagi? Entahlah. Apa aku berdosa jika memang benar-benar itu yang terjadi? Apa dia akan tetap mengutuk hatinya tidak akan mencintai lagi, mencintai orang lain maksudku, bukan aku. Karena kesalahanku lagi kah? Maaf jika memang aku yang bersalah, maaf jika aku menyakiti hatinya, tapi harus bagaimanakah aku? Tunjukkan aku cara meminta maaf!
Tahukah dia disini posisiku serba salah, maju tak hidup mundur juga celaka. Jadi? Hanya mereka kah yang paling merasa menderita, tidak tahukan mereka dengan posisiku? 
Aku benci menjadi aku! Semua mengatakan aku SALAH! Dan karena itulah aku akan pergi dari sini, bukan untuk melarikan diri dari masalah, tapi mengasingkan diri karena aku takut! Semua orang menyalahkanku, memojokkanku, dan membuatku menjadi semakin tak karuan.
Aku akan pergi jika memang kehadiranku disini benar-benar tidak dihiraukan, bahkan tidak DIBUTUHKAN.
Aku ingin membuat cerita yang lain. Aku ingin ada yang peduli padaku, aku ingin ada yang menanyakan kabarku, aku ingin ada yang menghawatirkan keadaanku, aku ingin benar-benar diakui keberadaanku, disini. Tapi semua tidak mendengar, semua tidak peduli, maka dari itu aku ingin menghilang. Aku takut kesepian, aku takut menjadi sendiri, tapi mungkin menghilang, totalitas merasa sepi dan sendiri akan membuatku lupa dengan semua ini. Karena aku selalu disalahkan, karena aku selalu dipojokkan, karena posisiku yang serba salah. Aku sudah muak! Sungguh, dengan hidupku sendiri yang sekarang!

Sabtu, 02 Maret 2013

Senja Terakhir Bersama Jingga


                Langit sore kala itu telah menampakkan semburat jingganya dengan sempurna, barisan induk-anak burung terbang menuju sangkarnya, dan matahari nyaris sempurna tenggelam dalam peraduannya.
                Begitu indah menikmati senja dari lapangan di tepi perumahan ramai ini. Saat senja datang lapangan malah terasa sepi dan lengang. Menikmati lukisan indah Tuhan, begitu Maha Agungnya Ia menciptakan semua ini.
                Aku berdiri dari kursi panjang di pinggir lapangan yang aku duduki selama dua jam. Kebiasaanku setahun terakhir memang terasa aneh. Duduk di bangku panjang ini memandang matahari pulang ke peraduannya, menikmati senja yang indah, dan menanti si mata bulat menampakkan kepalanya di bingkai jendela kamar lantai dua sebuah rumah yang tepat berseberangan dengan lapangan ini.
                Si mata bulat itu selalu berada di sana saat senja menjelang dan kembali menutup tirai jendelanya saat matahari sempurna tenggelam dan saat langit mulai gelap. Si mata bulat itu teduh memandang sang matahari berpulang keperaduannya. Dari bawah sini aku bisa melihat kalau tatapan si mata bulat itu berarti memohon, memohon ingin seperti sang matahari, tenggelam, menghilang.
                Dan senja ini dia benar-benar menghilang. Dia tidak menampakkan mata bulatnya di jendela rumah itu, bahkan jendelanya sempurna tertutup menyisakan bayangan si mata bulat di kaca jendela. Wajah teduh itu. Lama sekali aku menungguinya menampakkan wajah tapi yang ditunggu tak kunjung muncul. Ada apa dengan dia? Apakah dia sudah menghilang seperti matahari?
                Kakiku memaksa tubuhku untuk meninggalkan tempat ini sebelum nenek melemparku dengan sendalnya saat aku muncul di halaman rumah nenek yang begitu luas. Nenek selalu membiasakan untuk beribadah tepat waktu. Tapi hatiku tetap keukeuh untuk tetap menunggu si mata bulat. Sudah terlanjur penasaran, tak apa menunggu hingga pagi... begitu kata hatiku memaksa.
                Sukses berperang dengan hatiku untuk beranjak pergi justru Tuhan yang melarangku pergi dari lapangan ini. Deru mobil dari jalan di depanku menarik perhatianku, entah kenapa seperti ada yang kutunggu dari mobil itu, tapi apa?
                Dan benar saja, si mata bulat keluar dari mobil itu, tapi dalam gendongan seorang lelaki tengah baya, mungkin seusia ayahku. Tubuhnya tergolek lemah walau masih menyisakan kecantikan, cantik sekali, belum pernah aku melihat makhluk secantik dia.
                “Bolehkah aku duduk di sana, Ayah?” Mulut mungilnya berbisik pelan. Tapi masih bisa kudengar karena di sekitar benar-benar sepi. Dia menunjuk bangku panjang tempatku duduk tadi.
                Lelaki itu menghela nafas panjang, hendak melarang tetapi tak sampai hati melihat putrinya yang memelas. Beliau memutar tubuhnya berjalan menuju ke kursi panjang di tepi lapangan, melewatiku. Aku melihiat ke arah si mata bulat, matanya benar-benar indah, oh Tuhan rasa apa ini? Seolah mendengar sapaan dari dalam hatiku mata bulatnya sempurna tertuju ke mataku, memandang penuh arti, atau hanya aku yang terlalau berlebihan mengartikannya.
                Paman itu meletakkan putrinya di bangku panjang dengan lembut seolah itu barang berharga yang tidak boleh tergores apapun, barang berharga yang harus dijaganya walau nyawa sebagai taruhannya.
                “Ayah boleh pergi, nanti kalau sudah lelah aku akan berteriak memanggil ayah.” Katanya pelan, pelan sekali.
                “Kau ini, berbicara saja ayah hampir tidak bisa mendengar suaramu bagaimana kau akan berteriak memanggil ayah?”
                “Aku mohon Ayah, tinggalkan aku sendirian. Aku akan baik-baik saja, Ok?” Gadis itu semakin semangat saja, dia mengedipkan sebelah matanya, tersenyum amat manis membuat ayahnya luluh. Ayahnya mengangguk walau berat hati meninggalkannya. Beliau berbalik, berjalan keluar lapangan, kembali melewatiku, kali ini sempat berhenti di sampingku, melihatku dari ujung rambut sampai tempatku berpijak, apakah kakiku menempel di atas tanah atau kah melayang-layang? Beliau menunduk sopan dengan memamerkan gigi-giginya, melengkungkan garis bibirnya. Tersenyum.
                Lelaki itu cepat menghilang di balik mobilnya yang terparkir di depan rumah. Aku ingin membalikkan badan, melihat si mata bulat yang telat memandangi langit senja, telat melihat barisan induk-anak burung yang pulang ke sangkarnya, dan telat memandang sang matahari pulang keperaduannya. Aku tak berani membalikkan badan, takut dengan tatapan mata bulatnya. Aku memutuskan pergi.
                “Kakak...” Panggil si mata bulat, masih selirih tadi.
Aku berhenti. Apakah dia memanggilku? Di sini hanya ada aku dan dia. Kuputuskan membalikkan badan menatap si mata bulat yang duduk bersandar di punggung kursi.
Dia tersenyum ke arahku. Aku membalas senyum itu dengan kaku. Aku menjambak rambut belakangku, bertanda bahwa aku sedang grogi dan bertindak bodoh. Gadis manis itu menggeser duduknya, lalu menepuk-nepuk bangku kayu itu. Aku terkesiap. Diam mematung. Dia kembali menepuk-nepuk bangku itu. Kali ini aku mengerti, dia ingin aku duduk di sebelahnya. Kulangkahkan kakiku yang terasa berat, bukannya tak ingin berjalan ke arahnya, tetapi terlebih karena rasa kaget.
Aku duduk malu-malu di sebelahnya. Mencoba tersenyum.
“Kakak menungguku?”
Pertanyaan itu membuat hatiku berdesir. Apa maksud bocah ini? Bocah? Ah iya, umurnya terbilang tiga tahun lebih muda dari umurku.
Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya. Lidahku kelu tak dapat digerakkan.
“Maaf membuatmu terlalu lama menunggu. Dokter Farhan kelamaan jadi nggak bisa pulang cepat. Aku sudah minta pulang, tapi ayah bilang aku harus menunggu dokter Farhan. Maaf ya?”
Aku benar-benar tidak mengerti apa maksudnya meminta maaf. Dia tahu aku menunggunya, dari mana dia tahu?
“Ah, tak apa. Tapi bagaimana kau tahu aku sedang menunggumu?”
“Dari matamu. Setiap hari kau selalu duduk di bangku ini, melihat matahari tenggelam walau tak seindah di tepi pantai, hanya di tepi lapangan. Aku bisa melihatmu memandang ke jendelaku setiap hari sebelum aku menutup tirai jendelaku. Tatapan itu seperti memintaku agar aku turun ikut menikmati senja bersamamu di bangku panjang ini. Benar begitu?” Matanya menyelidik memandang ke arahku sambil memamerkan senyum jahilnya. Bagaimana aku bisa bilang tidak seperti itu? Aku benar melakukannya. Aku lagi-lagi hanya mengangguk.
“Aku juga ingin menikmati senja di bangku ini, bersamamu, tapi ayah selalu melarangku. Padahal....” dia berhenti bersuara, bibir mungilnya tertutup.
Ganti aku mneyelidik menatapnya. “Padahal apa?”
“Ah, bukan apa-apa. Lupakan saja! Emh... bolehkah aku memintamu untuk tetap di sini sampai waktunya tiba?”, pintanya dengan mata bulat penuh harap. Aku lagi-lagi mengangguk. Kali ini dengan senyuman mengembang. Gadis itu kembali tersenyum. Wajahnya begitu damai walaupun aku tidak mengerti apa maksud kalimatnya, sampai waktunya tiba.
“Kalau aku boleh tahu, siapa namamu?” tanyaku.
“Jingga”
Jingga. Pantas dia selalu menunggui senja datang dan pergi, ternyata senja adalah dia. Jingga.
Aku hanya duduk dengan desah nafas pelan di sebelahnya. Menungguinya tanpa banyak bicara. Diam, sepi, dan senyap. Tapi entah mengapa aku merasa bagai di langit ketujuh, bahagia, walaupun aku belum pernah menginjakkan kakiku di langit ketujuh. Mendengar desah nafasnya, merasakan kehangatan yang menjalar di sela-sela duduk kami. Aku merasakan sesuatu yang aneh dalam diriku. Ingin selalu menungguinya seperti ini setiap hari kalau saja ayah Jingga tidak melarang putrinya duduk bersamaku menikmati senja di bangku panjang ini.
“ Mungkin aku tidak akan menunggui senja datang lagi, mungkin aku tidak akan melihat barisan induk-anak burung pulang ke sangkarnya lagi, karena aku akan menghilang bersama sang mentari. Aku akan pergi, pergi jauuuh sekali. . .
“ Aku bahagia sempat duduk di sini bersamamu menikmati senja walau matahari telah sempurna bersembunyi di atas sana. Aku akan menjadi bintang paling terang di langit sana untuk dirimu. Tapi, jangan pernah berharap pada bintang, karena aku tak mungkin kembali dan memberimu sejuta harapan, sejuta mimpi indah. Aku hanya akan membuat hidup mu hampa, kosong tak berarti jika kau berharap pada bintang.
“ Tunggulah sang mentari datang esok hari walaupun dia akan pergi setiap senja datang. Jangan khawatir, dia akan datang lagi esok pagi. Begitu seterusnya. Selama setahun ini aku telah berusaha menjadi matahari di jendela itu, tapi aku sudah lelah. Aku akan pergi.”
Aku tak mengerti dengan kata-katanya. Terlalu berat kepalaku memikirkan arti semua kalimatnya. Perlahan dia menatapku dalam, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi lidahnya tak dapat digerakkan lagi. Dia hanya mampu tersenyum, indah sekali melihatnya tersenyum. Pelan, pelan sekali dia meletakkan kepalanya di bahuku. Aku membiarkannya seolah aku mendapat pesan dari langit bahwa dia benar-benar akan pergi jauh dan tak akan kembali.
Aku membelai rambut hitamnya yang panjang, menahan sekuat tenaga butiran air dari mataku. Sesaat aku merasakan bahagia bersamanya, Tuhan cepat sekali mengambilnya lagi.
Hembusan nafasnya kian lama kian berat, sekali tersengal terbatuk dan semakin melemah pula nafasnya. Serasa oksigen seberapa banyak pun tak mampu memenuhi rongga paru-parunya.
Dia mengangkat kepalanya, menatapku lembut dengan linangan air mata. Tertatih dia berkata dengan suara parau. “Te-ri-ma ka-sih, ka-kak.” Sekali lagi tersenyum dan kembali menyandarkan kepalanya di bahuku. Matanya perlahan tertutup. Desahan nafasnya tak lagi tersengal, sempurna tidak menghiraukan jutaan bahkan milyaran oksigen di depannya.
Jingga telah pergi. Senja berganti dengan gelap. Bintang-gemintang pun gemerlap di langit sana, seolah Jingga sudah bersama mereka, tersenyum dari atas sana melihatku terisak mendekap tubuhnya yang dingin, lemas tapi kaku.
**
Jingga gadis berpenyakit, empat tahun sudah dia menunggui matahari untuk mengajaknya menghilang di langit sana. Dan senja itu, senja itulah sang matahari menurutinya.
Esok pagi bersamaan dengan datangnya sang mentari tubuh dingin itu ditenggelamkan dalam gundukan tanah bertabur mawar merah diantar tangisan sanak-saudara dan teman-temannya. Begitu pula denganku, tak bisa lagi kusembunyikan kesedihan itu. Kutumpahkan semuanya dalam tangis.
Sejak hari itu, setiap senja datang aku akan menunggui sampai langit berubah gelap menampakkan formasi titik-titik indah, bercahaya, dan yang paling terang itulah bintangku, Jingga.
Walaupun aku tak pernah berharap padanya-memenuhi permintaan pertama dan terakhir Jingga- aku selalu ingin melihatnya bercahaya di langit sana. Sinarilah bumi ini dengan cahaya indahmu bintang kecilku.
**

Teka-Teki Jaket Hitam Silva


Part 5
Setelah makan dan ngobrol panjang lebar dengan Indra di kantin, Silva kembali ke kelas bersama teman-temannya. Rupanya asyik juga ngobrol dengan Indra.
Tapi Silva merasa ada sesuatu yang aneh saat dia ngobrol dengan Indra, tidak seperti saat dia ngobrol dengan teman-teman lainnya.  Apa mungkin karna dia cowok ya? Bukannya temen-temenku yang cowok banyak dan aku biasa aja ngobrol sama mereka? Silva berdialog sendiri dengan dirinya, menyadari ada sesuatu yang bergetar di hatinya saat dia sedang dekat dengan Indra.
“Tau, ah!! Gelap!”, teriak Silva di saat teman-temannya sedang asyik nonton film di dalam kelas. Siang ini jam pelajaran matematika di kelas Silva kosong, Bu Ratih sedang ada tamu.
“Sssstt!! Kalau nggak gelap nggak seru, Sil, namanya juga film horor!”, sahut Rona kesal.
“Hehe, sorry, aku ngomong sendiri kok.”
“Kok jadi kamu yang horor ya?”
Jengah meladeni teman-temannya yang demam film horor Silva melenggang pergi. Dia sebel dicuekin sama mereka karena film horor. Sebenarnya dia juga penggemar film horor, tapi suasana hatinya saat ini sedang tidak mood diajak nonton film horor. Kalau saja ada yang mengajak dia nonton film yang romantis-romantis.
Silva keluar dari kelas, berencana untuk ke perpustakaan. Mencari-cari bacaan untuk menemukan jawaban atas kegalauannya. Tangannya memutar gagang pintu dengan lemas, dan menutupnya kembali dengan hati-hati. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah karet gelang yang menggantung di gagang pintu. Ide jahilnya pun muncul. Daripada sepi dan horor gini mending bikin heboh, hihihi. Pikirnya sambil cengar-cengir di depan pintu.
Diambilnya karet gelang itu lalu dia memutar bola matanya. Pandangannya terhenti pada segerombolan teman-teman cowoknya yang sedang asyik ngobrol di depan kelas. Tangan kanannya yang memegang karet gelang mulai bereaksi. Matanya memicing seolah pemanah handal yang sedang membidik sasaran anak panahnya. Dan satu . . dua . . tti...
“Silva!”
Hitungannya terhenti seketika itu juga. Refleks Silva memutar tubuhnya menghadap sumber suara dan karet gelang yang ada di tangannya sempurna terlepas saat dia menyadari siapa yang ada di depannya.
Keret gelang itu meluncur dengan cepat dan berhenti tepat setelah mengenai mata Indra. Bayangkan! Karet itu menjepret mata! Cethaaarr!!
“Auuhh!!!” Pekik Indra keras sekali. Pasti sakit sekali.
Silva menjerit tertahan sambil menutup matanya dengan kedua tangan melihat kejadian itu. Indra kesakitan di tempatnya, matanya terasa perih dan pedas. Silva langsung menghampiri Indra saat menyadari cowok itu tertunduk.
“Indra maaf, aduh, tadi aku nggak sengaja! Sumpah deh, tadi niatnya bukan mau menjepret kamu!”
“Nggak pa-pa kok, tapi aduuh, perih banget, Sil!!”
“Aduh gimana nih? Air! Bentar aku ambilin air, ntar kamu cuci pake air aja!” Silva panik mengetahui Indra belum bisa membuka matanya. Dia mondar-mandir mencari air, tapi tidak menemukan air di sekitar situ. Saat Silva panik apa saja yang dia lakukan tidak akan pernah membuahkan hasil, bahkan akan merepotkan orang lain.
“Udah deh, Sil, mendingan aku ke UKS aja!”
“Emangnya kamu bisa ke sana? Melek aja nggak bisa? Ntar malah nabrak lagi?”
“Kamu lagi kosong, kan? Kamu jalan di depanku deh, jadi penunjuk jalan gitu!”
Silva berpikir sejenak. Iya juga sih, dia kayak gini kan juga gara-gara aku. Ntar kalau dia jadi buta gimana? Terus orang tuanya nglaporin aku ke polisi, terus aku dipenjara gimana?? “Aaargh, nggak mau!!!”, teriak Silva.
“Eeh? Nggak mau ya? Ya udah aku ke sana sendiri deh!”  Balas Indra kecewa. Dia masih belum bisa membuka sebelah matanya yang kejepret karet Silva tadi.
“Eh, aku ngomong sendiri kok! Ya udah, yuk!”
Silva segera berjalan di depan Indra. Indra jadi bingung dengan cewek di depannya itu. Tadi bilang  nggak mau, sekarang malah sudah semangat ’45 mengantarnya ke UKS.
“Jalannya jangan cepet-cepet, Sil! Kan tadi aku minta kamu buat jadi penunjuk jalan, malah jalan cepet-cepet! Kalau nggak ikhlas mendingan nggak usah deh!”
“Oh ya? Lupa kalau di belakang ada yang ngikutin, hehe.”
Selanjutnya Silva berjalan lambat sekali, di belakangnya Indra mengikuti dengan lebih lambat lagi.
**
 Setelah sekitar sepuluh menit mereka baru sampai di UKS. UKS sangat sepi. Di dalam seorang siswa  sedang tidur di ranjang panjang berseprai hijau muda di pojok ruangan. Silva mengenalinya, dia temannya satu kelas waktu kelas X dulu.
Silva menyuruh Indra untuk duduk di kursi berbentuk L yang juga berwarna hijau muda, sedangkan dia sendiri bingung mencari ember dan obat cuci mata di rak obat. Dia belum pernah ke UKS sebelumnya, apalagi mencari-cari obat di raknya. Dia juga tidak tahu bagaimana bentuknya obat cuci mata itu. Ada sih di rumahnya, tapi mungkin di sini yang digunakan berbeda karena dari tadi mencari-cari yang seperti miliknya di rumah tidak ketemu juga.
Dia menoleh ke belakang, melihat Indra. Cowok itu duduk bersandar di punggung kursi, setengah berbaring. Dia mengurungkan niatnya untuk bertanya pada Indra. Baru saja dia memutar kepalanya, Indra sudah bersuara.
“Kamu sudah tahu belum obat cuci matanya yang mana?”
“Nah itu! Dari tadi aku nyarai-nyari yang kayak punyaku di rumah tapi nggak ada.” jawab Silva polos.
Indra tersenyum tipis mendengar jawaban Silva. Dia masih memejamkan matanya. “Ada kok, botolnya putih bening, tutupnya warna merah. Oh ya, botolnya plastik. Lapnya ada di laci yang sebelahnya ranjang, di pojok.” Intruksi Indra pada Silva. Silva hanya manggut-manggut sambil tetap mencari obat cuci muka itu.
“Nah! Ketemu!!” Kata Silva girang. Kali ini Indra tertawa tanpa suara. Silva tidak menyadri bahwa mata kiri Indra-yang tidak kejepret karet- sedikit terbuka, memperhatikan wajah polos Silva. Wajah itu kalau sedang bingung tambah lucu. Kata Indra dalam hati.
“Melek dulu deh, Ndra! Nih udah aku ambilin ember plus airnya, obat cuci mata, sama lapnya.”
Indra menegakkan tubuhnya untuk duduk. Perlahan matanya melek, lalu mengompreskan obat cuci mata dan air bergantian ke mata kanannya. Silva memperhatikan di sampingnya.
Sorry, Ndra! Tadi nggak sengaja. Maunya nggak njepret kamu, eh kamu malah tiba-tiba manggil aku.”
“Jahil banget sih! Aku udah liat kamu sejak keluar dari kelas tadi. Kamu tiba-tiba cengar-cengir sendiri gitu, makanya aku panggil.”
“Loh? Kelas mu jam kosong juga?”
Indra hanya mengangguk. Dia sibuk dengan ember dan lap yang ada di tangannya.
Tiba-tiba sunyi menyelimuti mereka. Silva mulai mati gaya di tempatnya. Dia berharap Indra mengajaknya ngobrol lagi biar nggak sepi seperti saat itu. Tapi Indra tetap sibuk sendiri. Akhirnya Silva berdiri dan berpamitan dengan Indra untuk kembali ke kelas.
Saat Silva hampir mencapai mulut pintu, Indra memanggilnya. Silva menoleh, “ya?”
“Lain kali jangan jahil-jahil lagi! Oh, ya? Jangan ngomong sendiri lagi, ntar dikirain orang gila?” Kata Indra sambil bercanda. Dia tertawa ringan, maniiiiis sekali.
Keadaan yang sudah mencair membuat Silva mulai terbiasa lagi. Dia melihat ada setumpuk bantal di atas meja di dekatnya. Dia mengambil satu bantal dan melemparkannya ke Indra. Sejurus kemudian dia sudah berlari meninggalkan Indra, eh UKS maksudnya.
“AUUh!” Pekik Indra. “Woii!! Sil, awas ya!!” Indra malah berteriak-teriak membuat orang yang sedang tidur di ranjang pojok  ruangan itu terbangun dan muring-muring. Indra malah tertawa terbahak-bahak. Tapi bukan karena orang itu, melainkan karena SILVA.
**
Selasa, 26 Februari 2013

Teka-Teki Jaket Hitam Silva


Part 4
Di dalam bis Silva membolak-balik koin di tangannya. Bisa-bisanya tadi dia menerima koin itu dari Indra, bukannya dia getol sekli ingin mengembalikannya pada Indra? Silva tersipu sendiri membayangkan wajah polos Indra saat pertama kali mereka bertemu, saat dengan santainya dia makan bakso di kantin sedangkan Silva keki abis karna jaketnya tidak ada, wajah Indra yang cool beberapa hari lalu saat berpapasan dengannya, dan wajahnya di halte tadi, menggelikan. Silva memalingkan wajahnya ke jendela bis, melihat jalanan yang padat oleh kendaraan, mencoba mengalihkan pikirannya dari makhluk bernama Indra.
**
Indra masih saja tersenyum geli sejak bertemu dengan Silva tadi siang. Saat makan siang wajahnya begitu sumringah, sampai-sampai bundanya bingung melihat ekspresi wajah Indra yang tidak seperti biasanya itu.
Di kamar Indra mengingat-ingat saat dia sengaja meminjam jaket Silva padahal dia membawa jaket sendiri, dia yang menyembunyikan jaket Silva di dalam tas dan berpura-pura makan bakso dengan santainya padahal dia menahan tawa melihat Silva yang marah-marah. Dia juga yang sengaja menaruh koin kembalian laundrynya di saku jaket Silva agar dia tahu bahwa orang yang yang meminjam jaketnya bernama Indra.
Indra tahu betul bahwa skenarionya akan berhasil, skenario menggelitik nun menyenangkan.
**
Hari ini Silva malas memesan makanan seperti teman-temannya yang lain. Silva memilih duduk sendirian di pojok kantin. Di tangannya tetap ada koin kembalian itu. Koin Indra.
Entah kenapa baru kali inilah dia merasakan galau, dia juga merasa sangat konyol. Ada apa ini ya??
“Nggak pesen makanan?”, Indra tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. Silva hampir saja terlonjak dari duduknya. Tubuhnya tiba-tiba membeku.
“Haa? Oo, nggak, tadi udah sarapan di rumah”, jawab Silva kikuk.
“Beneran?? Terus kenapa tuh koinnya masih dipegangin? Belum ikhlas cuma lima ratus perak dendanya? Bentar deh!” Indra beranjak dari duduknya dan menuju kearah kedai bakso tak jauh dari tempatnya.
Dari tempat duduknya Silva tahu apa yang sedang dilakukan Indra, dia memesankan bakso untuknya, sekaligus es jeruk! Tak lama kemudian Indra dating dengan dua mangkuk bakso dan dua gelas es jeruk.
“Kemarin kan aku udah bilang, aku udah nggak pengen lagi, lagian aku juga bercanda.”
“Anggap aja ini tanda permintaan maafku.”
“Permintaan maaf?”
“Yaa, apa aja deh.. minta maaf pokonya.” Kata Indra malu-malu.
Detik selanjutnya mereka sudah asyok ngobrol ke mana-mana, mereka terlihat begitu akrab seperti sudah lama berteman.
Dalam hatinya Indra berteriak kegirangan, yess!! Good job, Ndra!!
**

Selasa, 19 Februari 2013

Let's Read!


Saya suka apa saja dengan "cerita". Suka meulis cerita, suka bercerita (lisan), saya juga suka membaca cerita. Lebih suka membaca buku cerita, novel, kumcer malah, daripada buku pelajaran, hehe...
Nah, ini beberapa novel yang pernah saya baca :)


Surat Kecil untuk Tuhan

Identitas Buku:
Judul                     : Surat Kecil untuk Tuhan
Pengarang             : Agnes Davonar
Penerbit                 : Inandra Published                                                  
Tebal                     : 228 + x hlm ; 19 cm


Sinopsis:
            Buku ini menceritakan perjuangan seorang gadis bernama Gita Sesa Wanda Cantika yang hidup melawan kanker ganas dan langka bernama Rabdhomiosarchoma. Dia adalah sosok yang sangat pintar, baik pada sesama, berbakti pada orang tua, dan setia pada sahabat-sahabatnya. Selama dia sakit, dia selalu bersabar, tidak pernah mengeluh di depan Ayah maupun sahabat-sahabatnya, dia juga gadis yang sangat kuat.
            Berkat kegigihan Ayahnya yang mencarikan obat ke mana-mana, akhirnya Keke dapat terbebas dari kanker yang bersarang di pelipis kananya itu. Dia sangat bersyukur dan bahagia karna dia sembuh dan terbebas dari penderitaannya. Namun, kebahagiaan Keke berhenti sampai di situ. Kanker yang pernah bersarang di pelipis kanannya kini berpindah ke pelipis kirinya. Karena sudah sering diobati dan dikemo alhirnya kanker itu kebal dan semakin nakal. Keke dan Ayahnya berusaha sekuat tenaga dan dengan segala usaha agar bisa menghilangkan enyakit itu.
            Namun, Tuhan berkehendak lain. Allah memanggil Keke untuk tinggal bersamanya di Surga. Dan dari kisah hidupnya itulah kita dapat belajar menjadi seseorang yang sabar dalam menerima cobaan, tetap berusaha tanpa putus asa, dan hanya meminta kepada Allah.
Kelebihan Buku:
            Kelebihan buku ini adalah bahasa yang digunakan mudah dipahami, cara menceritakannya yang runtut dan menarik, serta mengajak pembaca juga merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh. Buku ini juga berisi motivasi serta pelajaran bagi kita khususnya dalam hal kesabaran.
Kekurangan:
            Kekurangan buku ini menurut saya terletak pada sampil atau cover yang kurang menonjolkan Keke sebagai tokoh utama. Selebihnya buku ini sangat bagus dan cocok dibaca oleh remaja masa kini.



Tak Pernah Membenci Rembulan
Identitas Buku:
Judul Buku      : Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Pengarang       : Tere Liye
Penerbit           : Republika
Tebal               : iv + 426 halaman



Sinopsis:
Tere Liye merupakan seorang penulis novel penginspirasi dan bernuansa islami berkelahiran Palembang, 21 Mei 1979. Dalam novelnya yang keenam dengan judul Rembulan Tenggelam di Wajahmu, Tere Liye kembali menghinoptis pembaca dengan kata-katanya yang mengharukan dan memukau. Setelah berhasil dengan 12 novel lainnya, dalam novelnya yang berjudul Rembulan Tenggelam Diwajahmu ini Tere Liye menceritakan sebuah kisah seorang anak yatim piatu bernama Ray yang tinggal di panti asuhan. Beberapa dari novelnya sudah difilmkan di layar lebar, diantaranya Hafalan Shalat Delisa dan Moga Bunda Disayang Allah. Novel-novel karya Tere Liye ini tidak kalah populernya dengan novel-novel pengispirasi seperti novel-novel karya Habiburrahman El Shirazy.
            Kehidupan Ray benar-benar jauh dari kata bahagia. Dia hidup selama 16 tahun di sebuah panti asuhan yang tidal layak disebut panti asuhan. Kehidupan yang sangat tidak menyenangkan ini membuat dirinya berontak dan meninggalkan panti sialan tersebut.
            Kehidupan Ray di luar  membuatnya semakin liar. Tapi entah kenapa keberuntungan selalu menyertai kehidupan Ray. Ray yang selamat dari kebakaran malam itu, Ray yang menang dalam perjudian di lepau terminal, Ray yang masih tetap hidup  walaupun telah terkena belasan tusukan, Ray yang terselamatkan dalam pencurian berlian di gedung berlantai 40 itu bersama dengan Plee, Ray yang bertemu dengan si gigi kelinci, Ray yang menjadi kontraktor kaya dan cerdik namun licik.
            Tapi Tuhan akan selalu memberikan keadilannya. Di balik semua keberuntungannya Ray tetap menemui masa-masa sulitnya. Ray selalu kehilangan orang-orang terdekatnya dan orang-orang  tersayangnya. Ray kehilangan kedua orang tuanya, Ray kehilangan Diar, Natan, dan teman-temannya yang lain, Ray kehilangan Plee, Ray kehilangan si gigi kelinci-istrinya-, kehilangan dua bayi perempuannya yang belum sempat menghirup udara dunia, Ray kehilangan orang-orang terbaik yang pernah ia temui.
            Kebiasaan Ray setiap malam di tengah kesunyian hidupnya adalah memandang rembulan yang menggantung indah di langit luas. Hanya dengan memandang sang rembulan itulah Ray dapat menenangkan hatinya, sedikit merasakan kedamaian dalam hidupnya, serta mendapatkan kesempatan besar dalam hidupnya. Dalam hidupnya Ray selalu menyalahkan langit atas takdir yang diterimanya. Hingga suatu saat dia jatuh sakit dan mengalami masa koma yang begitu panjang. Dalam keadaan koma dia didatangi oleh seorang berwajah menyenangkan yang mengajaknya menyaksikan kembali apa yang pernah dia lakukan di masa lalu dan memberinya kesempatan untuk mengajukan lima pertanyaan yang akan dijawab langsung olehnya. Di akhir cerita Ray diberikan kesempatan selama lima hari untuk memperbaiki masa lalunya.
            Masih seperti kelima novel sebelumnya, Tere Liye kembali menyajikan sebuah kisah yang mampu membawa pembaca ke dalam dunia imajinasinya melalui diksi yang indah dan memukau namun mudah untuk dipahami. Seperti nukilan dari berikut: Malam terang. Langit bersih tersaput awan. Bintang tumpah mengukoir angkasa, membentuk ribuan formasi. Angin malam membelai rambut. Lembut. Menyenangkan. Menelisik, bernyanyi di sela-sela kupin. Gema takbir memenuhi jalanan.
Kalimatnya juga memotivasi, seperti kalimatnya tentang siklus sebab akibat berikut ini.
Siklus sebab-akibat itu sudah ditentukan. Tak ada yang bisa mengubahnya, kecuali satu!  Yaitu Kebaikan. Kebaikan bisa mengubah takdir. Nanti engkau akan mengerti, betapa banyak kebaikan yang kau lakukan tanpa sengaja telah merubah siklus sebab-akibat milikmu. Apalagi kebaikan-kebaikan yang memang dilakukan dengan sengaja.

             Seseorang yang memahami siklus sebab-akibat itu, seseorang yang tahu bahwa kebaikan bisa mengubah siklusnya. Maka dia akan selalu mengisi kehidupannya dengan perbuatan baik. Mungkin semua apa yang dilakukannya terlihat sia-sia. Mungkin apa yang dilakukannya terlihat tidak ada harganya bagi orang lain, tapi dia tetap mengisi sebaik mungkin.

 Tere Liye selalu bisa membawa pembacanya masuk ke dalam cerita seolah-olah pembacalah yang menjadi tokoh utama dalam cerita. Meskipun menggunakan alur maju-mundur pembaca tidak merasa bingung membacanya. Ceritanya yang fantastis membuat novel ini-dan novel lain karyanya-lebih menarik dan tidak membuat pembaca cepat bosan serta membuat pembaca penasaran dengan alur cerita yang dibuatnya sehingga pembaca akan membaca habis novel ini. Desain sampul novel ini dibuat dramatis dan mengesankan sehingga menarik minat pembaca.
Secara keseluruhan novel ini sesuai dibaca oleh semua orang, khususnya orang-orang yang telah menyalahkan dan tidak menerima takdir dalam hidupnya. Novel ini dapat memberikan pelajaran bahwa hidup ini merupakan sebab-akibat bagi kehidupan kita maupun kehidupan orang lain, yang membuat manusia berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak agar orang di sekitar kita tidak dirugikan ataupun tersakiti.








Memilih Dongeng Kehidupan

Judul               : Sang Penandai
  Pengarang       : Tere Liye
  Penerbit           : Mahaka Publishing
  Tebal               : 295 halaman

            Tere Liye kembali hadir dengan fantasi fiksinya yang mempesona. Tere tetap seperti dalam novel-novel sebelumnya, menyampaikan cerita dengan bahasanya yang mengalir tanpa membuat bosan pembaca.
            Dalam novel ini Tere mengajarkan pada kita melalui tokoh Jim yang tidak tahu bagaimana cara menolong kekasihnya yang dinikahkan dengan orang lain pilihan keluarganya. Lama menunggu tindakan Jim, Nayla, kekasihnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Jim yang mengetahui hal itu sangat menyesali tindakannya. Dia tidak bisa memaafkan dirinya.
            Jim yang frustasi mengikuti sebuah ekspedisi kapal terapung mencari Tanah Harapan. Dalam perjalannannya Jim ditemani seorang tua yang mengajarkan kepadanya untuk mencari dan menyelesaikan dongengnya sendiri, dial ah Sang Penandai. “Pecinta sejati tidak akan pernah mati sebelum kematian itu dating menjemputnya”, begitu kata si pak tua.
Jim mengarungi samudra luas sekaligus menyelesaikan dongeng dan petualangan-petualangannya. Hingga akhirnya dia sampai di Tanah Harapan, Jim menyelesaikan dongengnya sendiri.
            Dalam novel ini Tere bercerita dengan fantasi dongeng masa lalu, memperbarui dongeng-dongeng lama dengan sesuatu yang baru. 



Tunggu novel-novel lain :D

Mempertajam Daya Ingat


Gimana sih biar kita nggak gampang lupa? 
Berikut adalah beberapa tips yang aku dapat biar ingatan kita tajam:

1. Tidur – Mengistirahatkan Otak
Para ahli setuju bahwa Anda hanya melakukan satu hal untuk meningkatkan ingatan Anda, adalah dengan tidur. “Tidur adalah waktu kunci bagi otak Anda untuk menguatkan hubungan antar neuron (saraf),” kata Barnard. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Sleep Medicine, para peneliti meminta subjek untuk menampikan beberapa olah ingatan kemudian tidur siang atau tetap terjaga. Orang yang tidur siang mengingat lebih banyak tugas yang mereka tampilkan daripada yang tetap terjaga.

2. Berolahraga
Secara harfiah, bersepeda atau berlari atau berenang atau melakukan olahraga kardio selama 20-30 menit tiga kali setiap pekannya terbukti membantu ingatan Anda menjadi lebih baik. Meningkatkan kinerja jantung Anda mengalirkan darah ke otak, memperbesar hipocampus (bagian otak paling vital untuk mengingat), dan meningkatkan sekresi yang berasal dari fakor neurotropik  yang berasal dari otak, sebuah protein yang dibutuhkan untuk ingatan jangka panjang. Juga, latihan jantung juga bisa menghasilkan hubungan baru untuk menumbuhkan antarneuron di dalam hipocampus,” kata Peter J. Snyner, seorang profesor neurologi di Brown University's Alpert Medical School.

3. Menyediakan makanan dan minuman pendukung

Otak Anda tidak bisa berfungsi dengan baik tanpa asupan nutrisi penting. “Blueberri adalah sumber zat-zat utama yang disebut ‘anthocyanin’, yang meningkatkan antioksidan bagi otak,” ujar Joy Baueur, seorang ahli diet yang tinggal di New York City dan pengarang buku “The Joy Fit Club”. 

“Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anthocyanin melindungi otak dari peradangan dan oksidasi, yang keduanya bisa merusak neuron dan membuat neuron tidak efektif berhubungan satu sama lain.” Bauer juga merekomendasikan mengonsumsi sayuran berdaun hijau sesering mungkin. “penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa orang yang mengonsumsi sayur bayam dalam jumlah yang banyak, kol, dan sayuran berdaun hijau lainnya mengurangi risiko penurunan ingatan karena bertambahnya umur, karena didukung oleh phytonutrien seperti vitamin C,” katanya. 


4. Memilih suplemen berkualitas
Lupakan ginkgo biloba. Penelitian terbaru membuktikan bahwa suplemen herbal tersebut tidak memiliki pengaruh positif pada ingatan. Namun, sebagian suplemen terkenal mampu mendukung pertumbuhan neuron baru dan mengurangi zat-zat yang bisa menghambat fungsi kognitif. 

Suplemen standarnya adalah minyak ikan, menurut Lori Daniello, seorang asisten profesor neurologi (peneliti) di Alpert Medical School. Minyak ikan berhubungan dengan penurunan risiko kegilaan karena minyak tersebut mengandung DHA, sebuah asam lemak omega 3 yang menurunkan produksi yang menghambat ingatan di dalam otak dan mungkin terlibat dalam pembentukan neuron baru, kata Daniello. 

Meningkatkan konsumsi lemak ikan seperti salmon akan sangat membantu, atau Anda bisa mengonsumsi suplemen harian yang mengandung sedikitnya 180 miligram DHA. Vitamin D mungkin juga berfungsi baik, karena vitamin D menstimulasi pertumbuhan neuron baru dan membantu mengatasi protein tidak normal yang berhubungan dengan penyakit-penyakit yang berpengaruh pada ingatan , seperti kegilaan,” kata David J. LieweIIyn, seorang peneliti epidemiologi dan kesehatan masyarakat di University of Exeter, Inggris. 

5. Meditasi

Meditasi meningkatkan konsentrasi dan fokus Anda, yang baik bagi ingatan,” kata Dharma Singh Khalsa, kepala medis dan presiden Alzheimer's Research & Prevention Foundation, di Tuscon. Selain itu, meditasi juga terbukti mengurangi stres, yang bisa meningkatkan ingatan. “Saat kita sedang mengalami stres, tubuh dan otak kita melepas hormon-hormon seperti kortisol, adrenalin dan CRH [corticotropin-releasing hormone], yang dalam jangka pendek dapat membantu kita untuk kabur atau menghadapi situasi berbahaya,” kata Tallie Z.Baram, seorang profesor ilmu neurologikal di the University of California, Irvine. 

Namun, jika Anda stres dalam waktu yang cukup lama, hormon-hormon ini mengubah struktur hipocampus, merusak saraf yang berhubungan dengan aliran darah. Sebuah penelitian yang dirilis tahun lalu, menunjukkan bahwa subjek yang melakukan meditasi selama 12 menit sekali dalam satu hari selama delapan pekan akan mengalami peningkatan ingatan mereka dan meningkatkan aliran darah di sekitar otak yang digunakan untuk kinerja otak.

6. Melakukan sesuatu di luar kebiasaan
Pengalaman baru, seperti mengambil rute berbeda saat berangkat bekerja, juga dapat meningkatkan ingatan Anda. “Otak kita senantiasa memutuskan  hal yang cukup penting untuk diingat dan apa yang harus dihilangkan dari ingatan,” kata R. Douglas Field, seorang peneliti imu saraf di National Institutes of Health di Bethesda, Maryland. “Jika Anda sedang jatuh cinta, otak anda menganggap informasi akan menjadi penting dan menyimpannya di dalam otak.” 

Juga, Anda akan tetap mengingat sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba setelah mendapatkan pengalaman baru, katanya. “Konsolidasi ingatan jangka pendek ke dalam ingatan jangka panjang telah aktif, jadi pertahankan agar terus bekerja.” Yang berarti bahwa setelah mendapat pengalaman baru, Anda mungkin akan lebih baik mengingat apa yang terjadi saat pagi hari.

7. Periksa kotak obat Anda
Beberapa obat dapat berpengaruh pada ingatan, kata Barnard, termasuk antihistamine, antidepresan, seperti Prozac, obat pengurang kecemasan, seperti Xanax, dan obat tidur, seperti Ambien. Setiap obat tersebut bekerja dengan cara masing-masing di dalam otak. Sebagai contoh, Barnard mengatakan, “antihistamine menghalangi aseltikolin, pemancar otak yang diperlukan untuk ingatan jangka pendek. 

Sementara Xanax dan Ambien merusak memori episodik, jadi apapun yang terjadi kepada Anda saat mengonsumsi obat-obat tersebut mungkin tidak akan menetap di memori Anda. “Jangan gunakan resep tanpa konsultasi dengan dokter, tapi katakan masalah tersebut saat mengunjungi dokter lagi. Sebuah obat atau perawatan alternatif lain mungkin tersedia.”

8. Periksa ke dokter
Masalah yang sangat serius (tapi jarang terjadi) dapat  mengakibatkan kita menjadi lupa: penyakit tiroid dan kepekaan terhadap gluten yang tidak terdiagnosa. “Jika Anda memiliki penyimpangan kepekaan yang belum terdiagnosa terhadap gluten, protein yang ditemukan dalam gandum, barley, dan rye (sejenis gandum), dan Anda mengonsumsi makanan seperti roti dan biskuit, ingatan Anda akan tertanggu,” kata Stefano Guandalini, kepala medis Celiac Disease Center di University of Chicago Comer Children's Hospital. 

Banyak orang menggambarkan perasaan tersebut sebagai sebuah “kabut otak”, menimbulkan sensasi kabur. Dokter Anda dapat mengetahui penyimpangan kepekaan, dan perbaikan diet bisa membuat kondisi menjadi lebih baik. Kelainan tiroid juga bisa menganggu ingatan. Jika Anda memperhatikan peningkatan kepikunan, bersama dengan depresi atau perubahan berat badan atau umur Anda, segera datangi dokter. Pengobatan akan membuat kondisi Anda lebih terkontrol.

9. Tantang diri Anda untuk mengingat
"Kita tahu bahwa orang-orang yang aktif secara kognitif memiliki memori lebih baik dengan bertambahnya usia mereka," kata Michael Kahana, kepala Lab Komputasi Memori di Universitas Pennsylvania dan penulis ‘Foundations of Human Memory’. Jadi bagaimana Anda menjaga otak Anda agar tetap kuat? "Tetap berhubungan dengan lingkungan sekitar Anda akan memperkuat koneksi antarneuron," kata Bettcher. 

"Jadi lakukan kegiatan menyenangkan yang membuat Anda berpikir." Pergi ke museum sebulan sekali, belajar kata-kata dalam bahasa baru, menonton sebuah film dokumenter pada topik yang memikat Anda, atau melakukan melakukan teka-teki silang atau sudoku. Strategi lain: Buat tantangan untuk diri Anda sendiri. Misalnya, jika Anda ingin mengingat orang-orang baru yang Anda temui di sebuah acara, "bayangkan wajah mereka dan coba untuk mengingat nama mereka saat pulang," kata Henry L. Roediger III, seorang profesor psikologi di Washington University, di St Louis. 

Bila Anda meregangkan otak Anda dengan cara ini, Anda akan dapat mengingat nama mereka pada pertemuan berikutnya.

Lupa


Di sebuah desa hiduplah seorang nenek yang bernama Sarmi. Nenek Sarmi merupakan salah satu sesepuh desa. Ia dipercaya sebagai seorang ahli nujum yang paling sakti di kampung itu. Sayangnya usia telah menggerogoti kesaktiannya.
Suatu ketika Nenek  Sarmi sedang menimba air di sumur. Kemudian ia memanggil cucunya.
Nenek             : Cu...cu... cepat kemari. Nenek butuh bantuan. (Sambil terengah menimba air)
Cucu                : Iya nek, nih gue dateng. Whats up?? (Datang dengan bergaya)
Nenek                          : Ooh, jadi seperti itu sikapmu terhadap nenek? (Memasang wajah garang, siap   memarahi cucunya)
Cucu                : Eh, maaf-maaf nek, aku lupa, hehe. Ada apa nek ?
Nenek             : Sini lihat! (Menggandeng cucunya mendekati sumur). Saat nenek menimba kok riak airnya agak aneh ya? Tolong panggilkan tukang sumur!
Cucu                : Aneh bagaimana nek?
Nenek             : Itu coba lihat!  Riaknya tidak berhenti-berhenti. Padahal biasanya sehabis di timba, riak air sumur langsung berhenti dan airnya kembali tenang lagi.
Cucu                            : Wah betul nek. Ya sudah aku akan segera memanggil tukang sumur. Assalamualaikum!!
Sang Cucu akhirnya pergi memanggil tukang sumur.
Pak  tukang sumur pun akhirnya datang. Tukang sumur yang satu ini tidak perlu di ragukan lagi, dia adalah pakarnya tentang persumuran. Dengan perlahan ia mengamati riak air sumur nenek, perlahan namun pasti.
Tukang sumur: wah sepertinya ada mata air baru di sumur ini.
Cucu                : Mata air baru?
Tukang sumur: Iya, mata air baru. Biasanya sumur yang usianya sudah lama, tanahnya akan melunak. Sehingga mata air dari tanah dalam mampu menembus permukaan.
Cucu                : Tapi kok beriak terus, Pak ? apa itu pertanda mata air yang besar?
Tukang sumur : Mungkin saja. Tapi, kenapa airnya tidak bertambah naik ya?
Cucu                : Bagaimana kalau dicek ke dalam saja, Pak? (Sambil tersenyum)
Tukang sumur: Wah, yang benar saja! Saya tidak berani, Dik!Ssumur di desa ini dalam-dalam. Apalagi sumur nenek kamu yang sudah puluhan tahun. Terlalu berbahaya kalau saya masuk.
Cucu                : Oalah, yaa sudah pak. Terimakasih.
Pak tukang sumur pun pulang. Cucu nenek masuk ke rumah dan menceritakan kepada Nenek Sarmi tentang keadaan sumurnya.
            Keesokan harinya saat Nenek Sarmi dan cucunya pergi belanja di rumah tetangganya, ia bercerita kepada ibu-ibu yang ada di sana tentang keadaan sumurnya.
Nenek             : Wah bahaya ini!!
Penduduk 1     : Apanya nek yang bahaya ?
Nenek              : Air sumurku beriak terus.
Cucu                           : Memangnya ada kenapa nek kalau air sumurnya beriak terus? Bukankah kata tukang sumur kemarin tidak apa-apa? Hanya muncul mata air baru.
Nenek             : Nenek rasa itu pertanda kalau akan ada banjir besar, gempa, bencana-bencana lain yang akan menghancurkan desa kita.
Penduduk 1     : Ah, yang benar, Nek? Apa itu tidak bisa dicegah?
Nenek              : Bisa.
Cucu                : Bagaimana nek? (bertanya dengan penuh antusias)
Nenek                         : Kita harus memasukkan sesaji ke sumur itu. (berkata dengan mimik wajah serius dan horor)
Penduduk 1     : Oo.. baiklah nek, saya akan segera mengumpulkan masyarakat untuk melakukan upacara pelemparan sesaji ke sumur itu.
Ibu itu pun pergi dengan cucu nenek ke rumah Pak lurah. Ia mulai menyebarkan informasi tentang kondisi sumur Nenek Sarmi.
Setelah berdiskusi di rumah Pak Lurah akhirnya Pak lurah memberi pengumuman kepada warganya tentang sumur Nenek Sarmi dan sesaji yang harus disiapkan.
Pak lurah         : eh, kalian ayo segera kumpulkan beberapa hasil tani untuk sesajian ke sumur Nek Sarmi.
Penduduk 2     : Memangnya ada apa, Pak?
Pak Lurah        : Sumur Nek Sarmi beriak terus.
Penduduk 3     : Memangnya kenapa kalau sumur nenek beriak terus ?
Penduduk 1     : itu pertanda akan ada bencana di desa ini.
Penduduk 2     : ah.. masak ?
Penduduk 3     : iya, lagian bagaimana bisa sumur di jadikan patokan tanda bencana? Nggak logis deh!
Pak Lurah        : eh jangan ngawur kalian. Bukan sumurnya yang  jadi patokan. Tapi Nek Sarmi itu loh!
Penduduk 2     : Wah, Nek Sarmi kan termasuk sesepuh di sini!
Penduduk 3     : Memangnya ada apa dengan Nek Sarmi?
Penduduk 1     : Beliau itu ahli nujum di sini. Ramalannya sudah banyak terbukti. Mungkin ini merupakan ramalannya.
Penduduk 2     : Masak?! Wah, kalau begitu ayo segera kita ambil padi di lumbung. Semoga itu cukup untuk sesaji ke sumur Nek Sarmi.
Pak Lurah        : Baiklah, upacara akan di adakan nanti sore. Tolong kalian datang tepat waktu.
Akhirnya semua penduduk tau tentang sumur Nek Sarmi.  Mereka pun berkumpul di sumur Nek Sarmi tepat waktu.
Nenek              : Penduduk sekalian terima kasih sudah mau datang. Semoga kedatangan kalian ini benar-benar mencegah datangnya keburukan di desa ini.
Penduduk 1     : Nek, terus apa yang harus kami lakukan sekarang dengan sesaji ini?
Nenek              : Cepat lemparkan sesaji kalian ke dalam sumur!
Penduduk pun mulai melemparkan sesaji ke dalam sumur. Namun, bukannya tenang, air di sumur malah semakin beriak.
Nenek              : Ayo cepat-cepat!! Bawakan sesaji kalian, sepertinya bencana kali ini benar-benar sulit di atasi.
Sesajipun terus menerus dijatuhkan ke sumur. Anehnya di pemmukaan sumur itu malah muncul kepala ikan lele.
Penduduk 2     : Lho nek, kok ada ikan lele?
Nenek              : Ikan lele?
Nek Sarmi terdiam beberapa lama. Lantas beliau mengangguk-angguk sambil tersenyum malu-malu.
Nenek              : hehe.... (tersenyum)
Cucu                : Kenapa nek ?
Nenek              : Maaf saya baru ingat kalau minggu lalu saya memang berencana ternak lele di dalam sumur.
Penduduk 2     : Wah pantas saja airnya beriak terus.
Penduduk yang lainpun langsung tertawa mengetahui hal tersebut. Mereka akhirnya pulang dengan hati tenang. Sejak hari itu, Nenek Sarmi akhirnya berjanji untuk berhenti meramal, mengingat usia dan kualitas ingatannya yang menurun.
Story by: Nurhuda
Edited by: Niswatul Hamida
Nura Hajar
Retno Palupi
Rima Aprilia