Copyright © About Story
Design by Dzignine
Selasa, 15 Januari 2013

Kata Maaf untuk Kakak

Beberapa hari ini hujan terus mengguyur bumi di tempat tinggalku. Dari subuh sudah hujan sampai ibu-ibu males nyuci karena pakaiannya tidak ada yang kering. Tidak cuma itu,  anak-anak sekolah juga malas pergi ke sekolah karena cuaca dingin yang memberi efek mengantuk tingkat tinggi itu.
            Hari ini hujan masih saja turun padahal aku sudah malas sekali pergi sekolah. Liburan akan datang dua hari lagi dan itulah yang aku tunggu-tunggu semenjak aku masuk ke sekolah ini. Rasanya otakku sudah mau meledak saja. Tapi walaupun liburan aku rasa aku tidak bisa liburan dengan tenang karena PR, tugas, dan ulangan-ulangan sudah menantiku.
            “Assalamualaikum”
            Sore-sore begini rumahku masih saja sepi. Ibuku mungkin masih menjemput adikku mengaji, ayah masih bekerja, sedang aku baru saja pulang sekolah. Karena lapar aku langsung menuju meja makan, aku menemukan nasi dan teman-temannya sudah tertata rapi di meja.
          Sebelumnya kusempatkan menuju ke kamar mencari-cari HP ku. Orang itu lagi, huuh! Dengusku kesal dalam hati melihat jajaran nomor di layar HP ku. Nomor itu adalah nomor orang iseng yang suka ngerayu dan ngegombal, orang itu benar-benar menyebalkan. Aku membanting HP ku ke atas kasur dan kutinggal menonton teve.
            Tak begitu lama rumahku sudah ramai terisi dengan anggota keluargaku.
            “Bunda, aku tidur dulu aja ya? Aku belajarnya nanti aja, udah ngantuk banget, hhoahmm.” Rengekku manja pada Bunda.
            “Nanti kamu kebablasan lagi kayak kemarin-kemarin?”
            “Enggak kok, asal bunda bangunin aja, hehe, ya Bunda yaaa?”
            “Ya udah sana, tapi alarm jangan lupa! Bunda bangunin jam delapan, kalau nggak bangun risiko ditanggung sendiri!!” Kata bunda mewanti-wanti karena aku sudah sering membanting jam wekerku.
            “Iyaaa, hoahmm...”
Aku sangat beruntung memiliki bunda, bundaku itu itu alarm paling canggih yang aku punya, kalau aku susah dibangunkan gosong deh kaki dicubitin sama bunda. Tapi dengan cara itulah aku dan adikku bisa bangun tepat waktu.
            Sebelum benar-benar tertidur aku mendengar sayup-sayup suara adikku meminjam HP ku.
            “Kak, aku pinjam Hp-nya, punya ku pulsanya habis.” Begitulah kalau aku tidak salah mendengar.
            Aku tidak menghiraukannya karena sudah terlalu mengantuk.
õõõ
            Ternyata bunda tidak kalah cepat dengan alarm Hp-ku. Bunda juga membangunkanku tepat pukul delapan malam. Bunda hebaaattt J !!
            Saat aku mulai membuka mata aku melihat adikku sedang memainkan Hp ku. Tanpa basa-basi lagi aku merebutnya dengan paksa, tampak di wajahnya ekspresi kaget plus kesal pada ku. Aku hanya memandangnya dengan tatapan dingin. Kulihat inbox ku, dan ternyata benar, orang iseng itu SMS lagi. Dan messagenya itu sudah terbuka. . . berartiii???
            Aku langsung menatap adikku dengan tatapan kesal dan marah. Dia hanya memamdangku dengan tatapan bingung tanpa berkata apapun.
            “Kamu bales apa tadi SMS nya orang gila itu??”
Tanya ku dengan penuh kemarahan. Entah apa yang bisa membuatku semarah ini. Akhir-akhir ini aku memang tidak bisa mengontrol emosiku. Kesalahan sedikit saja sudah bisa membuatku mengamuk. Dan anehnya, semua ini hanya berlaku di rumah, jadi hanya orang-orang rumah sajalah yang menjadi korban kemarahanku.
            Adikku masih saja bungkam. Dia malah menutup wajahnya dengan bantalku. Aku sangat kesal karena dia sudah ikut campur urusanku. Aku mencubit pahanya. Dia masih saja diam tak bersuara. Aku ganti mencubit pipinya. Dia masih diam. Aku semakin kesal dan mulai menjambak rambutnya. Dia meronta tapi mulutnya tetap diam. Aku semakin panas dan kutarik krah bajunya. Dia semakin meronta dan mulai melakukan perlawanan karna mungkin lehernya sempat tercekik saat aku menarik krah bajunya. Kamar yang tadinya tertata rapi sekarang jadi nggak karuan bentuknya. Bantal dan guling tersebar di lantai, seprai dan selimut sudah terkumpul menjadi satu di pinggir kasur. Aku nggak nyangka ternyata aku dan adikku kalau berantem bisa sebuas ini, sampai bisa menhancurkan kamar serapi kamarku.
            Setelah aku puas berantem dengan dia aku langsung lari ke kamar mandi intuk wudhu dan setelah itu sholat isya’. Setelah sholat rasanya amarahku mulai mereda dan aku pun mulai tenang. Aku pun kembali ke kamar yang mungkin sudah tidak layak disebut kamar. Tanpa sengaja aku melihat adikku sedang menangis di pelukan bunda di ruang televisi. Melihatnya tersedu-sedu aku menjadi kasian dan menyesal telah menganiayanya. Aku langsung masuk ke kamar dan menangis sepuasku. Aku menumpahkan beban yang tersimpan di hatiku yang tidak aku tahu, apa beban itu sebenarnya.
           Setelah lama menangis tenagaku habis dan aku mulai lemas. Kuputuskan untuk ke dapur membuat susu coklat hangat favoritku.
            “Tadi ada apa sih kok adikmu sampai nangis seperti itu?” Tanya bunda tiba-tiba yang muncul di belakangku hingga membuatku tersedak.
            “Uhuuk.. emh, nggak ada apa-apa kok, Bun.” Jawabku berbohong.
         “Tadi adikmu sudah cerita, lain kali baca Istighfar kalau sudah merasa hati mu nggak enak. Jangan cepat-cepat terbawa emosi. Pahanya adikmu gosong semua tuh kena cubitanmu, kasiaan. . .” Bunda menghela nafas beratnya sesaat lalu melanjutkan kalimatnya.
“Tadi itu adikmu cuma membalas SMS teman sekelasmu yang tanya PR, dia bilang kalau kamu masih tidur.”
            Aku hanya menunduk malu dihadapan bunda. Lalu bunda mengelus rambutku dan meninggalkanku. Aku masih menunduk dan mencerna kata-kata bunda tadi. Aku juga menyesal telah melakukannya Bun, begitu mudahnya aku terhasut bisikan syetan!
            “Kak, maafin aku yaa?”
            Suara adikku tiba-tiba mengagetkanku yang masih menunduk. Kulihat dia menatapku dengan ketakutan, wajahnya pucat, dan tangan kanannya terulur ke hadapanku. Kulihat memar di tangan mungil itu, betapa jahatnya aku ini. Tak sanggup aku manahan air mataku yang hampir terjatuh aku langsung berlari ke kamar dan mengabaikan tangan adikku yang masih terulur. Aku sempat melihat raut kecewa di wajahnya.
            Betapa malunya diriku, seorang kakak yang seharusnya menjadi panutan malah mempermalukan diri sendiri di depan adikku yang usianya jauh di bawahku. Aku yang salah, tapi kenapa adikku yang harus minta maaf. Seharusnya aku yang mengucapkan kata maaf karena telah membentak adikku, memarahinya, mencubitnya, memukulnya, menjambaknya, sampai-sampai aku hampir mencekiknya, ya Allah betapa jahat dan hinanya aku di matanya sebagai seorang kakak. Rasa gengsiku yang lebih tinggi daripada rasa bersalahku itu membuatku tega melakukan hal bodoh seperti itu.
            Aku segera menghapus air mataku dan mengambil coklat di tasku yang tadi sempat aku beli sepulang sekolah. Aku berniat untuk meminta maaf pada adikku. Dia masih berdiri di tepi meja makan tempatnya mengulurkan tangan padaku tadi. Dia masih menundukkan kepalanya, mungkinkah dia menangis? Aku segera menghampirinya dan mengulurkan tanganku yang berisi coklat. Dia mendongak kaget dan saat melihat tangan berisi coklat itu adalah tanganku dia langsung memelukku. Aku pun juga memeluknya. Tanpa bisa kutahan lagi air mataku mengalir dengan begitu deras. Adikku yang mengetahui aku menangis meletakkan jari-jari mungilnya di pipiku dan menghapus pipiku yang basah itu dengan perlahan.
            Aku sangat menyesal telah menuruti amarah dan gengsiku daripada rasa bersalahku. Aku harap, tak ada orang lain sepertiku, menyakiti orang lain yang tanpa kutahu sebenarnya dia adalah pahlawanku, penyelamatku, dan orang yang sangat menyayangiku. 


Retno Palupi

2 komentar:

  1. gila banget sih no' cerpennya.
    kamu berhasil bangett buat aku jadi sesuatu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sesuatu gimana nih??
      ganas banget ya tokoh si aku??

      Hapus