Part 2
Mereka berdua
berjalan semakin dekat hingga mereka berpapasan. Cowok itu hanya melihat Silva
sekilas dan tetap fokus pada jalan di depannya. Tak berbeda dengan cowok itu,
Silva tersenyum kecil ke cowok itu, tapi mungkin hanya Tuhan dan Silva yang
tahu kalau dia sedang tersenyum saking dipaksakannya senyum itu.
Dia takut-takut
menoleh ke belakang dan akhirnya dia menoleh juga. Cowok itu tetap berjalan
begitu santainya, seperti tak mengenali Silva, lupa mungkin ya sama wajahku?
Ya sudah lah... Silva menarik nafas panjang lalu menghembuskannya, sedikit
kecewa. Dia melanjutkan jalannya lagi menuju parkiran.
**
Sore setengah siang
itu, sepulang sekolah di lapangan basket. Silva menemui si cowok nggak jelas
yang tadi meminjam jaketnya, lebih tepatnya agak memaksa.
Silva agak ragu
awalnya, mengambilnya sendirian atau mengajak teman-temannya. Tapi melihat
wajah tema-temannya yang sudah kelelahan dia tak tega. Akhirnya dia ke lapangan
basket sendirian. Dengan langkah gontainya dia berpikir, pasti jadi bau tuh
jaket dipake, dia kan cowok, secara bau keringat cowok kan lebih menyengat, ooh
no!! Dia jadi teringat kakak cowoknya yang seminggu lalu meminjam kaos
oblongnya-yang kebesaran. Saat dikembalikan masih belum juga dicuci, akhirnya
Silva menghabiskan satu botol pewangi pakaian saat mencucinya.
Lapangan basket
terlihat belum terlalu sepi. Silva menyapu pendangan ke seluruh pinggiran
lapangan. Hanya cewek-cewek yang bersorak-sorai menyemangati cowok-cowok yang
sedang iseng bermain basket.
“Hei!”
Silva dikagetkan
oleh suara di belakangnya. Dia menoleh, “Eeh, hei!”
Cowok itu tersenyum
lalu menggaruk kepalanya, kikuk. Silva jadi semakin bingung dengan cowok di
depannya ini. Silva melihat tangan kiri cowok itu yang sedang tidak menggaruk
kepala-ya iyalah, kalau dua tangannya menggaruk kepala pasti cowok ini spesiesnya
siamang, hehe. Di tangan kirinya tidak ada jaket Silva.
“Hehe, sorry
nih, aku lupa jaketmu yang mana?”
Doeengg!! Silva tak
habis pikir, nggak bertanggung jawab
banget sih cowok ini.
“Hloh??! Trus
gimana dong?”, wajah Silva mulai panik, kesel, dan marah.
“Sorrryyyy banget,
tapi jangan marah dulu!! Emm, gini deh, kamu ikut aku bentar!”, pinta cowok itu
dengan wajah innocentnya.
Silva hanya
mengekor di belakang cowok itu, entah jaketnya bisa kembali atau tidak. Ternyata
cowok itu mengajak Silva ke kantin. Di sana ada beberapa teman cowok itu dan
Silva tidak bisa percaya dengan apa yang dilihatnya.
Di kursi kantin itu
bertumpuk beberapa jaket berwarna hitam dengan berbagai bentuk. Mulai jaket
hitam yang warnanya sudah memudar, sablonnya mulai mengelupas, dan ada juga cardigan girly di
sana.
“Jangan bilang
jaketku di antara tumpukan itu, trus kamu bener-bener nggak inget yang mana
jaketku! Dan kamu ngajak aku ke sini biar aku milih di antara banyak jaket itu
yang mana jaketku?”, tebak Silva.
Cowok itu tersenyum
lebar dan menjentikkan jarinya tepat di depan muka Silva.
“Yup! Tepat
banget!! Soalnya tadi temen-temenku juga minjem jaket warna hitam semua, trus
abis main drama kita asal naruh tuh jaket di meja, taunya aku lupa yang mana
jaketmu? Jadi kamu.. hloh, eh, tunggu dulu aku belum selesai jelasin, eh!!”
Silva sudah tidak
lagi mendengarkan penjelasan panjang lebar cowok itu. Dia berjalan mendekati tumpukan
kain berwarna hitam itu. Miris hatinya membayangkan jaketnya yang wangi harus
bercampur tak karuan dengan bau cowok-cowok. Tangan putih Silva mulai memilihi
jaket itu. Ini sih nggak lagi bau, tapi BAU GILAAAA!!! Aaarrgh!
Silva geram dengan
cowok itu! Dia sedang sibuk mencari jaketnya, eh cowok itu malah asyik makan
bakso di depannya. “Kamu enak banget sih, nggak ikut bantuin nyari malah makan
bakso! Aku juga laper tauu!!”, kata Silva tiba-tiba.
Cowok itu berhenti
mengunyah bakso yang masih setengah lingkaran. Demi melihat wajah Silva yang
manyun, dia menelan bakso itu tanpa mengunyah. Alhasil cowok itu malah keselek
dan terbatuk-batuk. Silva pengen tertawa melihatnya, tapi karna dia terlanjur terlihat marah jadi dia
mengalihkan mukanya untuk mengalihkan perhatiannya pada cowok aneh sekaligus
konyol itu.
Cowok itu berdiri. “Aduh,
sorry,aku nggak tahu kalau kamu laper. Mau aku pesenin juga??”, tanyanya polos. Silva semakin
geram. Dia melempar jaket hitam yang sedang ada di tangannya.
“Ah, tau ah! Cari
sendiri jaketku sampe ketemu. Warna hitam, resleting depan, tulisannya No Pain
No Gain! warna putih, ukuran L, warnanya masih kinclong nggak buluk kayak
gini. Oh ya, inget!! Jaketku wangi! Kalau udah ketemu dan jaketku nggak wangi,
kamu harus cuci dulu sampai wangi lagi, titik! Terserah kamu, jeketku harus
kembali dengan selamat, dan aku nggak mau kalau kamu beliin jaket baru buat
gantinya!”
Silva menarik
nafasnya panjang, lalu membuangnya gitu aja. Dia berbalik dan meninggalkan
cowok itu yang kaget melihat Silva marah-marah. Sebelum pergi Silva sempat
melihat es jeruk di meja tadi, uh! Jadi haus marah-marah, pasti seger tuh es
jeruk!!
Cowok itu
memandangi tas Silva yang menjauh. Dia ganti memandangi tumpukan jaket itu,
lalu tersenyum jail. Dia duduk lagi di kursinya dan merogoh ke dalam tasnya.
Dia mengeluarkan jaket hitam dari dalam tasnya. Cowok itu hanya geleng-geleng
mengingat wajah Silva tadi saat marah-marah. “Siapa juga yang mau beliin kamu
jaket baru? Haha.”
**
wow :)
BalasHapusmakasii :)
Hapusbaca part selanjutnya yaaa :):)
bacanya mulai part satu doong
BalasHapusiyaa :)
Hapusoke :)
Hapusemang segitunya ya??
BalasHapusnggak sih, kan mendramatisir biar yang punya cerita ngakak
BalasHapus