Copyright © About Story
Design by Dzignine
Sabtu, 02 Maret 2013

Teka-Teki Jaket Hitam Silva


Part 5
Setelah makan dan ngobrol panjang lebar dengan Indra di kantin, Silva kembali ke kelas bersama teman-temannya. Rupanya asyik juga ngobrol dengan Indra.
Tapi Silva merasa ada sesuatu yang aneh saat dia ngobrol dengan Indra, tidak seperti saat dia ngobrol dengan teman-teman lainnya.  Apa mungkin karna dia cowok ya? Bukannya temen-temenku yang cowok banyak dan aku biasa aja ngobrol sama mereka? Silva berdialog sendiri dengan dirinya, menyadari ada sesuatu yang bergetar di hatinya saat dia sedang dekat dengan Indra.
“Tau, ah!! Gelap!”, teriak Silva di saat teman-temannya sedang asyik nonton film di dalam kelas. Siang ini jam pelajaran matematika di kelas Silva kosong, Bu Ratih sedang ada tamu.
“Sssstt!! Kalau nggak gelap nggak seru, Sil, namanya juga film horor!”, sahut Rona kesal.
“Hehe, sorry, aku ngomong sendiri kok.”
“Kok jadi kamu yang horor ya?”
Jengah meladeni teman-temannya yang demam film horor Silva melenggang pergi. Dia sebel dicuekin sama mereka karena film horor. Sebenarnya dia juga penggemar film horor, tapi suasana hatinya saat ini sedang tidak mood diajak nonton film horor. Kalau saja ada yang mengajak dia nonton film yang romantis-romantis.
Silva keluar dari kelas, berencana untuk ke perpustakaan. Mencari-cari bacaan untuk menemukan jawaban atas kegalauannya. Tangannya memutar gagang pintu dengan lemas, dan menutupnya kembali dengan hati-hati. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah karet gelang yang menggantung di gagang pintu. Ide jahilnya pun muncul. Daripada sepi dan horor gini mending bikin heboh, hihihi. Pikirnya sambil cengar-cengir di depan pintu.
Diambilnya karet gelang itu lalu dia memutar bola matanya. Pandangannya terhenti pada segerombolan teman-teman cowoknya yang sedang asyik ngobrol di depan kelas. Tangan kanannya yang memegang karet gelang mulai bereaksi. Matanya memicing seolah pemanah handal yang sedang membidik sasaran anak panahnya. Dan satu . . dua . . tti...
“Silva!”
Hitungannya terhenti seketika itu juga. Refleks Silva memutar tubuhnya menghadap sumber suara dan karet gelang yang ada di tangannya sempurna terlepas saat dia menyadari siapa yang ada di depannya.
Keret gelang itu meluncur dengan cepat dan berhenti tepat setelah mengenai mata Indra. Bayangkan! Karet itu menjepret mata! Cethaaarr!!
“Auuhh!!!” Pekik Indra keras sekali. Pasti sakit sekali.
Silva menjerit tertahan sambil menutup matanya dengan kedua tangan melihat kejadian itu. Indra kesakitan di tempatnya, matanya terasa perih dan pedas. Silva langsung menghampiri Indra saat menyadari cowok itu tertunduk.
“Indra maaf, aduh, tadi aku nggak sengaja! Sumpah deh, tadi niatnya bukan mau menjepret kamu!”
“Nggak pa-pa kok, tapi aduuh, perih banget, Sil!!”
“Aduh gimana nih? Air! Bentar aku ambilin air, ntar kamu cuci pake air aja!” Silva panik mengetahui Indra belum bisa membuka matanya. Dia mondar-mandir mencari air, tapi tidak menemukan air di sekitar situ. Saat Silva panik apa saja yang dia lakukan tidak akan pernah membuahkan hasil, bahkan akan merepotkan orang lain.
“Udah deh, Sil, mendingan aku ke UKS aja!”
“Emangnya kamu bisa ke sana? Melek aja nggak bisa? Ntar malah nabrak lagi?”
“Kamu lagi kosong, kan? Kamu jalan di depanku deh, jadi penunjuk jalan gitu!”
Silva berpikir sejenak. Iya juga sih, dia kayak gini kan juga gara-gara aku. Ntar kalau dia jadi buta gimana? Terus orang tuanya nglaporin aku ke polisi, terus aku dipenjara gimana?? “Aaargh, nggak mau!!!”, teriak Silva.
“Eeh? Nggak mau ya? Ya udah aku ke sana sendiri deh!”  Balas Indra kecewa. Dia masih belum bisa membuka sebelah matanya yang kejepret karet Silva tadi.
“Eh, aku ngomong sendiri kok! Ya udah, yuk!”
Silva segera berjalan di depan Indra. Indra jadi bingung dengan cewek di depannya itu. Tadi bilang  nggak mau, sekarang malah sudah semangat ’45 mengantarnya ke UKS.
“Jalannya jangan cepet-cepet, Sil! Kan tadi aku minta kamu buat jadi penunjuk jalan, malah jalan cepet-cepet! Kalau nggak ikhlas mendingan nggak usah deh!”
“Oh ya? Lupa kalau di belakang ada yang ngikutin, hehe.”
Selanjutnya Silva berjalan lambat sekali, di belakangnya Indra mengikuti dengan lebih lambat lagi.
**
 Setelah sekitar sepuluh menit mereka baru sampai di UKS. UKS sangat sepi. Di dalam seorang siswa  sedang tidur di ranjang panjang berseprai hijau muda di pojok ruangan. Silva mengenalinya, dia temannya satu kelas waktu kelas X dulu.
Silva menyuruh Indra untuk duduk di kursi berbentuk L yang juga berwarna hijau muda, sedangkan dia sendiri bingung mencari ember dan obat cuci mata di rak obat. Dia belum pernah ke UKS sebelumnya, apalagi mencari-cari obat di raknya. Dia juga tidak tahu bagaimana bentuknya obat cuci mata itu. Ada sih di rumahnya, tapi mungkin di sini yang digunakan berbeda karena dari tadi mencari-cari yang seperti miliknya di rumah tidak ketemu juga.
Dia menoleh ke belakang, melihat Indra. Cowok itu duduk bersandar di punggung kursi, setengah berbaring. Dia mengurungkan niatnya untuk bertanya pada Indra. Baru saja dia memutar kepalanya, Indra sudah bersuara.
“Kamu sudah tahu belum obat cuci matanya yang mana?”
“Nah itu! Dari tadi aku nyarai-nyari yang kayak punyaku di rumah tapi nggak ada.” jawab Silva polos.
Indra tersenyum tipis mendengar jawaban Silva. Dia masih memejamkan matanya. “Ada kok, botolnya putih bening, tutupnya warna merah. Oh ya, botolnya plastik. Lapnya ada di laci yang sebelahnya ranjang, di pojok.” Intruksi Indra pada Silva. Silva hanya manggut-manggut sambil tetap mencari obat cuci muka itu.
“Nah! Ketemu!!” Kata Silva girang. Kali ini Indra tertawa tanpa suara. Silva tidak menyadri bahwa mata kiri Indra-yang tidak kejepret karet- sedikit terbuka, memperhatikan wajah polos Silva. Wajah itu kalau sedang bingung tambah lucu. Kata Indra dalam hati.
“Melek dulu deh, Ndra! Nih udah aku ambilin ember plus airnya, obat cuci mata, sama lapnya.”
Indra menegakkan tubuhnya untuk duduk. Perlahan matanya melek, lalu mengompreskan obat cuci mata dan air bergantian ke mata kanannya. Silva memperhatikan di sampingnya.
Sorry, Ndra! Tadi nggak sengaja. Maunya nggak njepret kamu, eh kamu malah tiba-tiba manggil aku.”
“Jahil banget sih! Aku udah liat kamu sejak keluar dari kelas tadi. Kamu tiba-tiba cengar-cengir sendiri gitu, makanya aku panggil.”
“Loh? Kelas mu jam kosong juga?”
Indra hanya mengangguk. Dia sibuk dengan ember dan lap yang ada di tangannya.
Tiba-tiba sunyi menyelimuti mereka. Silva mulai mati gaya di tempatnya. Dia berharap Indra mengajaknya ngobrol lagi biar nggak sepi seperti saat itu. Tapi Indra tetap sibuk sendiri. Akhirnya Silva berdiri dan berpamitan dengan Indra untuk kembali ke kelas.
Saat Silva hampir mencapai mulut pintu, Indra memanggilnya. Silva menoleh, “ya?”
“Lain kali jangan jahil-jahil lagi! Oh, ya? Jangan ngomong sendiri lagi, ntar dikirain orang gila?” Kata Indra sambil bercanda. Dia tertawa ringan, maniiiiis sekali.
Keadaan yang sudah mencair membuat Silva mulai terbiasa lagi. Dia melihat ada setumpuk bantal di atas meja di dekatnya. Dia mengambil satu bantal dan melemparkannya ke Indra. Sejurus kemudian dia sudah berlari meninggalkan Indra, eh UKS maksudnya.
“AUUh!” Pekik Indra. “Woii!! Sil, awas ya!!” Indra malah berteriak-teriak membuat orang yang sedang tidur di ranjang pojok  ruangan itu terbangun dan muring-muring. Indra malah tertawa terbahak-bahak. Tapi bukan karena orang itu, melainkan karena SILVA.
**

3 komentar: