Part 5
Setelah makan dan ngobrol panjang
lebar dengan Indra di kantin, Silva kembali ke kelas bersama teman-temannya. Rupanya
asyik juga ngobrol dengan Indra.
Tapi Silva merasa ada sesuatu
yang aneh saat dia ngobrol dengan Indra, tidak seperti saat dia ngobrol dengan
teman-teman lainnya. Apa mungkin
karna dia cowok ya? Bukannya temen-temenku yang cowok banyak dan aku
biasa aja ngobrol sama mereka? Silva berdialog sendiri dengan dirinya,
menyadari ada sesuatu yang bergetar di hatinya saat dia sedang dekat dengan
Indra.
“Tau, ah!! Gelap!”, teriak Silva
di saat teman-temannya sedang asyik nonton film di dalam kelas. Siang ini jam
pelajaran matematika di kelas Silva kosong, Bu Ratih sedang ada tamu.
“Sssstt!! Kalau nggak gelap nggak
seru, Sil, namanya juga film horor!”, sahut Rona kesal.
“Hehe, sorry, aku ngomong
sendiri kok.”
“Kok jadi kamu yang horor ya?”
Jengah meladeni teman-temannya
yang demam film horor Silva melenggang pergi. Dia sebel dicuekin sama mereka
karena film horor. Sebenarnya dia juga penggemar film horor, tapi suasana
hatinya saat ini sedang tidak mood diajak nonton film horor. Kalau saja
ada yang mengajak dia nonton film yang romantis-romantis.
Silva keluar dari kelas,
berencana untuk ke perpustakaan. Mencari-cari bacaan untuk menemukan jawaban
atas kegalauannya. Tangannya memutar gagang pintu dengan lemas, dan
menutupnya kembali dengan hati-hati. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah
karet gelang yang menggantung di gagang pintu. Ide jahilnya pun muncul. Daripada
sepi dan horor gini mending bikin heboh, hihihi. Pikirnya sambil
cengar-cengir di depan pintu.
Diambilnya karet gelang itu lalu
dia memutar bola matanya. Pandangannya terhenti pada segerombolan teman-teman
cowoknya yang sedang asyik ngobrol di depan kelas. Tangan kanannya yang
memegang karet gelang mulai bereaksi. Matanya memicing seolah pemanah handal
yang sedang membidik sasaran anak panahnya. Dan satu . . dua . . tti...
“Silva!”
Hitungannya terhenti seketika itu
juga. Refleks Silva memutar tubuhnya menghadap sumber suara dan karet gelang
yang ada di tangannya sempurna terlepas saat dia menyadari siapa yang ada di
depannya.
Keret gelang itu meluncur dengan
cepat dan berhenti tepat setelah mengenai mata Indra. Bayangkan! Karet itu
menjepret mata! Cethaaarr!!
“Auuhh!!!” Pekik Indra keras
sekali. Pasti sakit sekali.
Silva menjerit tertahan sambil
menutup matanya dengan kedua tangan melihat kejadian itu. Indra kesakitan di
tempatnya, matanya terasa perih dan pedas. Silva langsung menghampiri Indra
saat menyadari cowok itu tertunduk.
“Indra maaf, aduh, tadi aku nggak
sengaja! Sumpah deh, tadi niatnya bukan mau menjepret kamu!”
“Nggak pa-pa kok, tapi aduuh,
perih banget, Sil!!”
“Aduh gimana nih? Air! Bentar aku
ambilin air, ntar kamu cuci pake air aja!” Silva panik mengetahui Indra belum
bisa membuka matanya. Dia mondar-mandir mencari air, tapi tidak menemukan air
di sekitar situ. Saat Silva panik apa saja yang dia lakukan tidak akan pernah
membuahkan hasil, bahkan akan merepotkan orang lain.
“Udah deh, Sil, mendingan aku ke
UKS aja!”
“Emangnya kamu bisa ke sana? Melek
aja nggak bisa? Ntar malah nabrak lagi?”
“Kamu lagi kosong, kan? Kamu jalan
di depanku deh, jadi penunjuk jalan gitu!”
Silva berpikir sejenak. Iya juga
sih, dia kayak gini kan juga gara-gara aku. Ntar kalau dia jadi buta gimana? Terus
orang tuanya nglaporin aku ke polisi, terus aku dipenjara gimana?? “Aaargh,
nggak mau!!!”, teriak Silva.
“Eeh? Nggak mau ya? Ya udah aku
ke sana sendiri deh!” Balas Indra
kecewa. Dia masih belum bisa membuka sebelah matanya yang kejepret karet Silva
tadi.
“Eh, aku ngomong sendiri kok! Ya
udah, yuk!”
Silva segera berjalan di depan
Indra. Indra jadi bingung dengan cewek di depannya itu. Tadi bilang nggak mau, sekarang malah sudah semangat ’45 mengantarnya
ke UKS.
“Jalannya jangan cepet-cepet,
Sil! Kan tadi aku minta kamu buat jadi penunjuk jalan, malah jalan cepet-cepet!
Kalau nggak ikhlas mendingan nggak usah deh!”
“Oh ya? Lupa kalau di belakang
ada yang ngikutin, hehe.”
Selanjutnya Silva berjalan lambat
sekali, di belakangnya Indra mengikuti dengan lebih lambat lagi.
**
Setelah sekitar sepuluh menit mereka baru
sampai di UKS. UKS sangat sepi. Di dalam seorang siswa sedang tidur di ranjang panjang berseprai
hijau muda di pojok ruangan. Silva mengenalinya, dia temannya satu kelas waktu
kelas X dulu.
Silva menyuruh Indra untuk duduk
di kursi berbentuk L yang juga berwarna hijau muda, sedangkan dia sendiri
bingung mencari ember dan obat cuci mata di rak obat. Dia belum pernah ke UKS
sebelumnya, apalagi mencari-cari obat di raknya. Dia juga tidak tahu bagaimana
bentuknya obat cuci mata itu. Ada sih di rumahnya, tapi mungkin di sini yang
digunakan berbeda karena dari tadi mencari-cari yang seperti miliknya di rumah
tidak ketemu juga.
Dia menoleh ke belakang, melihat
Indra. Cowok itu duduk bersandar di punggung kursi, setengah berbaring. Dia mengurungkan
niatnya untuk bertanya pada Indra. Baru saja dia memutar kepalanya, Indra sudah
bersuara.
“Kamu sudah tahu belum obat cuci
matanya yang mana?”
“Nah itu! Dari tadi aku
nyarai-nyari yang kayak punyaku di rumah tapi nggak ada.” jawab Silva polos.
Indra tersenyum tipis mendengar
jawaban Silva. Dia masih memejamkan matanya. “Ada kok, botolnya putih bening,
tutupnya warna merah. Oh ya, botolnya plastik. Lapnya ada di laci yang
sebelahnya ranjang, di pojok.” Intruksi Indra pada Silva. Silva hanya
manggut-manggut sambil tetap mencari obat cuci muka itu.
“Nah! Ketemu!!” Kata Silva
girang. Kali ini Indra tertawa tanpa suara. Silva tidak menyadri bahwa mata
kiri Indra-yang tidak kejepret karet- sedikit terbuka, memperhatikan wajah
polos Silva. Wajah itu kalau sedang bingung tambah lucu. Kata Indra
dalam hati.
“Melek dulu deh, Ndra! Nih udah
aku ambilin ember plus airnya, obat cuci mata, sama lapnya.”
Indra menegakkan tubuhnya untuk
duduk. Perlahan matanya melek, lalu mengompreskan obat cuci mata dan air
bergantian ke mata kanannya. Silva memperhatikan di sampingnya.
“Sorry, Ndra! Tadi nggak
sengaja. Maunya nggak njepret kamu, eh kamu malah tiba-tiba manggil aku.”
“Jahil banget sih! Aku udah liat
kamu sejak keluar dari kelas tadi. Kamu tiba-tiba cengar-cengir sendiri gitu,
makanya aku panggil.”
“Loh? Kelas mu jam kosong juga?”
Indra hanya mengangguk. Dia sibuk
dengan ember dan lap yang ada di tangannya.
Tiba-tiba sunyi menyelimuti
mereka. Silva mulai mati gaya di tempatnya. Dia berharap Indra mengajaknya
ngobrol lagi biar nggak sepi seperti saat itu. Tapi Indra tetap sibuk sendiri.
Akhirnya Silva berdiri dan berpamitan dengan Indra untuk kembali ke kelas.
Saat Silva hampir mencapai mulut
pintu, Indra memanggilnya. Silva menoleh, “ya?”
“Lain kali jangan jahil-jahil
lagi! Oh, ya? Jangan ngomong sendiri lagi, ntar dikirain orang gila?” Kata
Indra sambil bercanda. Dia tertawa ringan, maniiiiis sekali.
Keadaan yang sudah mencair
membuat Silva mulai terbiasa lagi. Dia melihat ada setumpuk bantal di atas meja
di dekatnya. Dia mengambil satu bantal dan melemparkannya ke Indra. Sejurus kemudian
dia sudah berlari meninggalkan Indra, eh UKS maksudnya.
“AUUh!” Pekik Indra. “Woii!! Sil,
awas ya!!” Indra malah berteriak-teriak membuat orang yang sedang tidur di
ranjang pojok ruangan itu terbangun dan muring-muring.
Indra malah tertawa terbahak-bahak. Tapi bukan karena orang itu, melainkan
karena SILVA.
**
.lanjutin donk..:)
BalasHapuslagi-lagi yg part 6
BalasHapusbentar, nunggu ide jatuh dari langit :D
BalasHapus