Copyright © About Story
Design by Dzignine
Selasa, 10 Desember 2013

Hanya Aku?

Langkah kaki  ku entah terasa semakin sulit untuk beranjak dari tempat ini. Berharap nanti disana aku juga akan menemui tempat senyaman ini. Pikiranku kembali melayang-layang mengingat dan memutar video-video yang terekam di otakku.
Sekarang pukul 16.00, dan aku masih betah hanya duduk memandangi orang-orang berlalu-lalang di depanku. Memandangi wajah lelah mereka yang seharian ini menghadapi boss yang disiplin dan tidak mau tau, wajah-wajah keriput yang saling bercengkrama, wajah ceria kanak-kanak yang bermain dengan orang tuanya, dan..yah, wajah bahagia mereka yang sedang bergandengan tangan tanpa peduli orang-orang di sekitarnya. Bisa saja di sekitarnya baru saja ada pasangan yang menghentikan kisah muda-mudi mereka, bisa saja di sekitarnya seorang jomblo merasa miris kapan dia akan merasakan bergandengan tangan dengan “pacar”nya, dan bisa saja di dekat mereka seseorang sedang merasa kesepian, tanpa ada yang peduli padanya, tanpa ada yang menanyakan kabarnya, tanpa ada yang menghawatirkan keadaannya, benar-benar tidak ada.
Aku menarik nafas panjang dan segera bangkit dari bangku tua ini. Tuhan benar-benar telah membuatku semakin miris, semakin merasa tak karuan. Kenapa? Apa salahku?
Aku berjalan loyo menuju halte bis yang tidak jauh dari tempaku duduk tadi. Dua hari lagi aku akan meninggalkan tempat ini, kotaku..negara ku. Tempat dimana aku membuat cerita  hidup ku sendiri, terlalu banyak kenangan yang akan kutinggalkan disini. Semuanya. Aku tidak akan membawa kenangan itu bersamaku. Dan adakah yang tahu aku akan pergi? Yah, hanya keluarga ku di rumah. Hanya itu, dan memang hanya mereka. Mereka saja sudah cukup bagiku, tidak usah yang lain!
Aku mengurus sendiri keperluan keberangkatanku, hanya dibantu oleh seseorang yang kebetulan waktu itu berbaik hati menawarkan diri ingin membantuku. Apa aku mengenalnya? Tentu saja tidak!
Disini aku benar-benar merasa tidak punya siapa-siapa, kecuali Tuhanku dan orang-orang di rumahku. Seorang yang benar-benar kujadikan sahabat, bersama-sama menyusun cerita perjalanan hidup kami, mungkin, sudah melupakanku. Oh, mungkin kata “melupakan” terlalu jahat. Mencampakkan. Aku mungkin sudah tidak dipercaya lagi karena kesalahanku di masa lalu. Dulu aku memang masih menjadi remaja yang labil dan gampang sekali tersulut emosiku, aku sadari itu. Aku sudah meminta maaf, dia bilang sudah memaafkanku. Tapi dimaafkan sekaligus dicampakkan benar-benar menakutkan bagiku. Dan aku takut tetap berada di sini.
Bukan hanya itu, aku sadar aku telah melukai hati yang lain juga. Ini salahku lagi? Entahlah. Apa aku berdosa jika memang benar-benar itu yang terjadi? Apa dia akan tetap mengutuk hatinya tidak akan mencintai lagi, mencintai orang lain maksudku, bukan aku. Karena kesalahanku lagi kah? Maaf jika memang aku yang bersalah, maaf jika aku menyakiti hatinya, tapi harus bagaimanakah aku? Tunjukkan aku cara meminta maaf!
Tahukah dia disini posisiku serba salah, maju tak hidup mundur juga celaka. Jadi? Hanya mereka kah yang paling merasa menderita, tidak tahukan mereka dengan posisiku? 
Aku benci menjadi aku! Semua mengatakan aku SALAH! Dan karena itulah aku akan pergi dari sini, bukan untuk melarikan diri dari masalah, tapi mengasingkan diri karena aku takut! Semua orang menyalahkanku, memojokkanku, dan membuatku menjadi semakin tak karuan.
Aku akan pergi jika memang kehadiranku disini benar-benar tidak dihiraukan, bahkan tidak DIBUTUHKAN.
Aku ingin membuat cerita yang lain. Aku ingin ada yang peduli padaku, aku ingin ada yang menanyakan kabarku, aku ingin ada yang menghawatirkan keadaanku, aku ingin benar-benar diakui keberadaanku, disini. Tapi semua tidak mendengar, semua tidak peduli, maka dari itu aku ingin menghilang. Aku takut kesepian, aku takut menjadi sendiri, tapi mungkin menghilang, totalitas merasa sepi dan sendiri akan membuatku lupa dengan semua ini. Karena aku selalu disalahkan, karena aku selalu dipojokkan, karena posisiku yang serba salah. Aku sudah muak! Sungguh, dengan hidupku sendiri yang sekarang!