Copyright © About Story
Design by Dzignine
Sabtu, 02 Maret 2013

Senja Terakhir Bersama Jingga


                Langit sore kala itu telah menampakkan semburat jingganya dengan sempurna, barisan induk-anak burung terbang menuju sangkarnya, dan matahari nyaris sempurna tenggelam dalam peraduannya.
                Begitu indah menikmati senja dari lapangan di tepi perumahan ramai ini. Saat senja datang lapangan malah terasa sepi dan lengang. Menikmati lukisan indah Tuhan, begitu Maha Agungnya Ia menciptakan semua ini.
                Aku berdiri dari kursi panjang di pinggir lapangan yang aku duduki selama dua jam. Kebiasaanku setahun terakhir memang terasa aneh. Duduk di bangku panjang ini memandang matahari pulang ke peraduannya, menikmati senja yang indah, dan menanti si mata bulat menampakkan kepalanya di bingkai jendela kamar lantai dua sebuah rumah yang tepat berseberangan dengan lapangan ini.
                Si mata bulat itu selalu berada di sana saat senja menjelang dan kembali menutup tirai jendelanya saat matahari sempurna tenggelam dan saat langit mulai gelap. Si mata bulat itu teduh memandang sang matahari berpulang keperaduannya. Dari bawah sini aku bisa melihat kalau tatapan si mata bulat itu berarti memohon, memohon ingin seperti sang matahari, tenggelam, menghilang.
                Dan senja ini dia benar-benar menghilang. Dia tidak menampakkan mata bulatnya di jendela rumah itu, bahkan jendelanya sempurna tertutup menyisakan bayangan si mata bulat di kaca jendela. Wajah teduh itu. Lama sekali aku menungguinya menampakkan wajah tapi yang ditunggu tak kunjung muncul. Ada apa dengan dia? Apakah dia sudah menghilang seperti matahari?
                Kakiku memaksa tubuhku untuk meninggalkan tempat ini sebelum nenek melemparku dengan sendalnya saat aku muncul di halaman rumah nenek yang begitu luas. Nenek selalu membiasakan untuk beribadah tepat waktu. Tapi hatiku tetap keukeuh untuk tetap menunggu si mata bulat. Sudah terlanjur penasaran, tak apa menunggu hingga pagi... begitu kata hatiku memaksa.
                Sukses berperang dengan hatiku untuk beranjak pergi justru Tuhan yang melarangku pergi dari lapangan ini. Deru mobil dari jalan di depanku menarik perhatianku, entah kenapa seperti ada yang kutunggu dari mobil itu, tapi apa?
                Dan benar saja, si mata bulat keluar dari mobil itu, tapi dalam gendongan seorang lelaki tengah baya, mungkin seusia ayahku. Tubuhnya tergolek lemah walau masih menyisakan kecantikan, cantik sekali, belum pernah aku melihat makhluk secantik dia.
                “Bolehkah aku duduk di sana, Ayah?” Mulut mungilnya berbisik pelan. Tapi masih bisa kudengar karena di sekitar benar-benar sepi. Dia menunjuk bangku panjang tempatku duduk tadi.
                Lelaki itu menghela nafas panjang, hendak melarang tetapi tak sampai hati melihat putrinya yang memelas. Beliau memutar tubuhnya berjalan menuju ke kursi panjang di tepi lapangan, melewatiku. Aku melihiat ke arah si mata bulat, matanya benar-benar indah, oh Tuhan rasa apa ini? Seolah mendengar sapaan dari dalam hatiku mata bulatnya sempurna tertuju ke mataku, memandang penuh arti, atau hanya aku yang terlalau berlebihan mengartikannya.
                Paman itu meletakkan putrinya di bangku panjang dengan lembut seolah itu barang berharga yang tidak boleh tergores apapun, barang berharga yang harus dijaganya walau nyawa sebagai taruhannya.
                “Ayah boleh pergi, nanti kalau sudah lelah aku akan berteriak memanggil ayah.” Katanya pelan, pelan sekali.
                “Kau ini, berbicara saja ayah hampir tidak bisa mendengar suaramu bagaimana kau akan berteriak memanggil ayah?”
                “Aku mohon Ayah, tinggalkan aku sendirian. Aku akan baik-baik saja, Ok?” Gadis itu semakin semangat saja, dia mengedipkan sebelah matanya, tersenyum amat manis membuat ayahnya luluh. Ayahnya mengangguk walau berat hati meninggalkannya. Beliau berbalik, berjalan keluar lapangan, kembali melewatiku, kali ini sempat berhenti di sampingku, melihatku dari ujung rambut sampai tempatku berpijak, apakah kakiku menempel di atas tanah atau kah melayang-layang? Beliau menunduk sopan dengan memamerkan gigi-giginya, melengkungkan garis bibirnya. Tersenyum.
                Lelaki itu cepat menghilang di balik mobilnya yang terparkir di depan rumah. Aku ingin membalikkan badan, melihat si mata bulat yang telat memandangi langit senja, telat melihat barisan induk-anak burung yang pulang ke sangkarnya, dan telat memandang sang matahari pulang keperaduannya. Aku tak berani membalikkan badan, takut dengan tatapan mata bulatnya. Aku memutuskan pergi.
                “Kakak...” Panggil si mata bulat, masih selirih tadi.
Aku berhenti. Apakah dia memanggilku? Di sini hanya ada aku dan dia. Kuputuskan membalikkan badan menatap si mata bulat yang duduk bersandar di punggung kursi.
Dia tersenyum ke arahku. Aku membalas senyum itu dengan kaku. Aku menjambak rambut belakangku, bertanda bahwa aku sedang grogi dan bertindak bodoh. Gadis manis itu menggeser duduknya, lalu menepuk-nepuk bangku kayu itu. Aku terkesiap. Diam mematung. Dia kembali menepuk-nepuk bangku itu. Kali ini aku mengerti, dia ingin aku duduk di sebelahnya. Kulangkahkan kakiku yang terasa berat, bukannya tak ingin berjalan ke arahnya, tetapi terlebih karena rasa kaget.
Aku duduk malu-malu di sebelahnya. Mencoba tersenyum.
“Kakak menungguku?”
Pertanyaan itu membuat hatiku berdesir. Apa maksud bocah ini? Bocah? Ah iya, umurnya terbilang tiga tahun lebih muda dari umurku.
Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya. Lidahku kelu tak dapat digerakkan.
“Maaf membuatmu terlalu lama menunggu. Dokter Farhan kelamaan jadi nggak bisa pulang cepat. Aku sudah minta pulang, tapi ayah bilang aku harus menunggu dokter Farhan. Maaf ya?”
Aku benar-benar tidak mengerti apa maksudnya meminta maaf. Dia tahu aku menunggunya, dari mana dia tahu?
“Ah, tak apa. Tapi bagaimana kau tahu aku sedang menunggumu?”
“Dari matamu. Setiap hari kau selalu duduk di bangku ini, melihat matahari tenggelam walau tak seindah di tepi pantai, hanya di tepi lapangan. Aku bisa melihatmu memandang ke jendelaku setiap hari sebelum aku menutup tirai jendelaku. Tatapan itu seperti memintaku agar aku turun ikut menikmati senja bersamamu di bangku panjang ini. Benar begitu?” Matanya menyelidik memandang ke arahku sambil memamerkan senyum jahilnya. Bagaimana aku bisa bilang tidak seperti itu? Aku benar melakukannya. Aku lagi-lagi hanya mengangguk.
“Aku juga ingin menikmati senja di bangku ini, bersamamu, tapi ayah selalu melarangku. Padahal....” dia berhenti bersuara, bibir mungilnya tertutup.
Ganti aku mneyelidik menatapnya. “Padahal apa?”
“Ah, bukan apa-apa. Lupakan saja! Emh... bolehkah aku memintamu untuk tetap di sini sampai waktunya tiba?”, pintanya dengan mata bulat penuh harap. Aku lagi-lagi mengangguk. Kali ini dengan senyuman mengembang. Gadis itu kembali tersenyum. Wajahnya begitu damai walaupun aku tidak mengerti apa maksud kalimatnya, sampai waktunya tiba.
“Kalau aku boleh tahu, siapa namamu?” tanyaku.
“Jingga”
Jingga. Pantas dia selalu menunggui senja datang dan pergi, ternyata senja adalah dia. Jingga.
Aku hanya duduk dengan desah nafas pelan di sebelahnya. Menungguinya tanpa banyak bicara. Diam, sepi, dan senyap. Tapi entah mengapa aku merasa bagai di langit ketujuh, bahagia, walaupun aku belum pernah menginjakkan kakiku di langit ketujuh. Mendengar desah nafasnya, merasakan kehangatan yang menjalar di sela-sela duduk kami. Aku merasakan sesuatu yang aneh dalam diriku. Ingin selalu menungguinya seperti ini setiap hari kalau saja ayah Jingga tidak melarang putrinya duduk bersamaku menikmati senja di bangku panjang ini.
“ Mungkin aku tidak akan menunggui senja datang lagi, mungkin aku tidak akan melihat barisan induk-anak burung pulang ke sangkarnya lagi, karena aku akan menghilang bersama sang mentari. Aku akan pergi, pergi jauuuh sekali. . .
“ Aku bahagia sempat duduk di sini bersamamu menikmati senja walau matahari telah sempurna bersembunyi di atas sana. Aku akan menjadi bintang paling terang di langit sana untuk dirimu. Tapi, jangan pernah berharap pada bintang, karena aku tak mungkin kembali dan memberimu sejuta harapan, sejuta mimpi indah. Aku hanya akan membuat hidup mu hampa, kosong tak berarti jika kau berharap pada bintang.
“ Tunggulah sang mentari datang esok hari walaupun dia akan pergi setiap senja datang. Jangan khawatir, dia akan datang lagi esok pagi. Begitu seterusnya. Selama setahun ini aku telah berusaha menjadi matahari di jendela itu, tapi aku sudah lelah. Aku akan pergi.”
Aku tak mengerti dengan kata-katanya. Terlalu berat kepalaku memikirkan arti semua kalimatnya. Perlahan dia menatapku dalam, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi lidahnya tak dapat digerakkan lagi. Dia hanya mampu tersenyum, indah sekali melihatnya tersenyum. Pelan, pelan sekali dia meletakkan kepalanya di bahuku. Aku membiarkannya seolah aku mendapat pesan dari langit bahwa dia benar-benar akan pergi jauh dan tak akan kembali.
Aku membelai rambut hitamnya yang panjang, menahan sekuat tenaga butiran air dari mataku. Sesaat aku merasakan bahagia bersamanya, Tuhan cepat sekali mengambilnya lagi.
Hembusan nafasnya kian lama kian berat, sekali tersengal terbatuk dan semakin melemah pula nafasnya. Serasa oksigen seberapa banyak pun tak mampu memenuhi rongga paru-parunya.
Dia mengangkat kepalanya, menatapku lembut dengan linangan air mata. Tertatih dia berkata dengan suara parau. “Te-ri-ma ka-sih, ka-kak.” Sekali lagi tersenyum dan kembali menyandarkan kepalanya di bahuku. Matanya perlahan tertutup. Desahan nafasnya tak lagi tersengal, sempurna tidak menghiraukan jutaan bahkan milyaran oksigen di depannya.
Jingga telah pergi. Senja berganti dengan gelap. Bintang-gemintang pun gemerlap di langit sana, seolah Jingga sudah bersama mereka, tersenyum dari atas sana melihatku terisak mendekap tubuhnya yang dingin, lemas tapi kaku.
**
Jingga gadis berpenyakit, empat tahun sudah dia menunggui matahari untuk mengajaknya menghilang di langit sana. Dan senja itu, senja itulah sang matahari menurutinya.
Esok pagi bersamaan dengan datangnya sang mentari tubuh dingin itu ditenggelamkan dalam gundukan tanah bertabur mawar merah diantar tangisan sanak-saudara dan teman-temannya. Begitu pula denganku, tak bisa lagi kusembunyikan kesedihan itu. Kutumpahkan semuanya dalam tangis.
Sejak hari itu, setiap senja datang aku akan menunggui sampai langit berubah gelap menampakkan formasi titik-titik indah, bercahaya, dan yang paling terang itulah bintangku, Jingga.
Walaupun aku tak pernah berharap padanya-memenuhi permintaan pertama dan terakhir Jingga- aku selalu ingin melihatnya bercahaya di langit sana. Sinarilah bumi ini dengan cahaya indahmu bintang kecilku.
**

2 komentar:

  1. agak dramatis tapi, hehe...
    itu bikinnya pas menghayati banget, wkwkwkw

    #lupakan dia, Van!

    BalasHapus