Langit
sore kala itu telah menampakkan semburat jingganya dengan sempurna, barisan induk-anak
burung terbang menuju sangkarnya, dan matahari nyaris sempurna tenggelam dalam
peraduannya.
Begitu
indah menikmati senja dari lapangan di tepi perumahan ramai ini. Saat senja
datang lapangan malah terasa sepi dan lengang. Menikmati lukisan indah Tuhan,
begitu Maha Agungnya Ia menciptakan semua ini.
Aku
berdiri dari kursi panjang di pinggir lapangan yang aku duduki selama dua jam.
Kebiasaanku setahun terakhir memang terasa aneh. Duduk di bangku panjang ini
memandang matahari pulang ke peraduannya, menikmati senja yang indah, dan
menanti si mata bulat menampakkan kepalanya di bingkai jendela kamar
lantai dua sebuah rumah yang tepat berseberangan dengan lapangan ini.
Si
mata bulat itu selalu berada di sana saat senja menjelang dan kembali
menutup tirai jendelanya saat matahari sempurna tenggelam dan saat langit mulai
gelap. Si mata bulat itu teduh memandang sang matahari berpulang
keperaduannya. Dari bawah sini aku bisa melihat kalau tatapan si mata bulat itu
berarti memohon, memohon ingin seperti sang matahari, tenggelam,
menghilang.
Dan
senja ini dia benar-benar menghilang. Dia tidak menampakkan mata bulatnya di
jendela rumah itu, bahkan jendelanya sempurna tertutup menyisakan bayangan si
mata bulat di kaca jendela. Wajah teduh itu. Lama sekali aku menungguinya
menampakkan wajah tapi yang ditunggu tak kunjung muncul. Ada apa dengan dia?
Apakah dia sudah menghilang seperti matahari?
Kakiku
memaksa tubuhku untuk meninggalkan tempat ini sebelum nenek melemparku dengan
sendalnya saat aku muncul di halaman rumah nenek yang begitu luas. Nenek selalu
membiasakan untuk beribadah tepat waktu. Tapi hatiku tetap keukeuh untuk
tetap menunggu si mata bulat. Sudah terlanjur penasaran, tak apa menunggu
hingga pagi... begitu kata hatiku memaksa.
Sukses
berperang dengan hatiku untuk beranjak pergi justru Tuhan yang melarangku pergi
dari lapangan ini. Deru mobil dari jalan di depanku menarik perhatianku, entah
kenapa seperti ada yang kutunggu dari mobil itu, tapi apa?
Dan benar saja, si mata bulat keluar dari mobil
itu, tapi dalam gendongan seorang lelaki tengah baya, mungkin seusia ayahku.
Tubuhnya tergolek lemah walau masih menyisakan kecantikan, cantik sekali, belum
pernah aku melihat makhluk secantik dia.
“Bolehkah
aku duduk di sana, Ayah?” Mulut mungilnya berbisik pelan. Tapi masih bisa
kudengar karena di sekitar benar-benar sepi. Dia menunjuk bangku panjang tempatku
duduk tadi.
Lelaki
itu menghela nafas panjang, hendak melarang tetapi tak sampai hati melihat
putrinya yang memelas. Beliau memutar tubuhnya berjalan menuju ke kursi panjang
di tepi lapangan, melewatiku. Aku melihiat ke arah si mata bulat, matanya
benar-benar indah, oh Tuhan rasa apa ini? Seolah mendengar sapaan dari
dalam hatiku mata bulatnya sempurna tertuju ke mataku, memandang penuh arti,
atau hanya aku yang terlalau berlebihan mengartikannya.
Paman
itu meletakkan putrinya di bangku panjang dengan lembut seolah itu barang
berharga yang tidak boleh tergores apapun, barang berharga yang harus dijaganya
walau nyawa sebagai taruhannya.
“Ayah
boleh pergi, nanti kalau sudah lelah aku akan berteriak memanggil ayah.”
Katanya pelan, pelan sekali.
“Kau
ini, berbicara saja ayah hampir tidak bisa mendengar suaramu bagaimana kau akan
berteriak memanggil ayah?”
“Aku
mohon Ayah, tinggalkan aku sendirian. Aku akan baik-baik saja, Ok?” Gadis itu
semakin semangat saja, dia mengedipkan sebelah matanya, tersenyum amat manis
membuat ayahnya luluh. Ayahnya mengangguk walau berat hati meninggalkannya.
Beliau berbalik, berjalan keluar lapangan, kembali melewatiku, kali ini sempat
berhenti di sampingku, melihatku dari ujung rambut sampai tempatku berpijak,
apakah kakiku menempel di atas tanah atau kah melayang-layang? Beliau menunduk
sopan dengan memamerkan gigi-giginya, melengkungkan garis bibirnya. Tersenyum.
Lelaki
itu cepat menghilang di balik mobilnya yang terparkir di depan rumah. Aku ingin
membalikkan badan, melihat si mata bulat yang telat memandangi langit senja,
telat melihat barisan induk-anak burung yang pulang ke sangkarnya, dan telat
memandang sang matahari pulang keperaduannya. Aku tak berani membalikkan badan,
takut dengan tatapan mata bulatnya. Aku memutuskan pergi.
“Kakak...”
Panggil si mata bulat, masih selirih tadi.
Aku berhenti.
Apakah dia memanggilku? Di sini hanya ada aku dan dia. Kuputuskan membalikkan
badan menatap si mata bulat yang duduk bersandar di punggung kursi.
Dia tersenyum
ke arahku. Aku membalas senyum itu dengan kaku. Aku menjambak rambut
belakangku, bertanda bahwa aku sedang grogi dan bertindak bodoh. Gadis manis
itu menggeser duduknya, lalu menepuk-nepuk bangku kayu itu. Aku terkesiap. Diam
mematung. Dia kembali menepuk-nepuk bangku itu. Kali ini aku mengerti, dia
ingin aku duduk di sebelahnya. Kulangkahkan kakiku yang terasa berat, bukannya
tak ingin berjalan ke arahnya, tetapi terlebih karena rasa kaget.
Aku duduk
malu-malu di sebelahnya. Mencoba tersenyum.
“Kakak
menungguku?”
Pertanyaan itu
membuat hatiku berdesir. Apa maksud bocah ini? Bocah? Ah iya, umurnya
terbilang tiga tahun lebih muda dari umurku.
Aku mengangguk
mengiyakan pertanyaannya. Lidahku kelu tak dapat digerakkan.
“Maaf membuatmu
terlalu lama menunggu. Dokter Farhan kelamaan jadi nggak bisa pulang cepat. Aku
sudah minta pulang, tapi ayah bilang aku harus menunggu dokter Farhan. Maaf
ya?”
Aku
benar-benar tidak mengerti apa maksudnya meminta maaf. Dia tahu aku menunggunya,
dari mana dia tahu?
“Ah, tak apa.
Tapi bagaimana kau tahu aku sedang menunggumu?”
“Dari matamu.
Setiap hari kau selalu duduk di bangku ini, melihat matahari tenggelam walau
tak seindah di tepi pantai, hanya di tepi lapangan. Aku bisa melihatmu
memandang ke jendelaku setiap hari sebelum aku menutup tirai jendelaku. Tatapan
itu seperti memintaku agar aku turun ikut menikmati senja bersamamu di bangku
panjang ini. Benar begitu?” Matanya menyelidik memandang ke arahku sambil
memamerkan senyum jahilnya. Bagaimana aku bisa bilang tidak seperti itu?
Aku benar melakukannya. Aku lagi-lagi hanya mengangguk.
“Aku juga
ingin menikmati senja di bangku ini, bersamamu, tapi ayah selalu melarangku.
Padahal....” dia berhenti bersuara, bibir mungilnya tertutup.
Ganti aku
mneyelidik menatapnya. “Padahal apa?”
“Ah, bukan
apa-apa. Lupakan saja! Emh... bolehkah aku memintamu untuk tetap di sini sampai
waktunya tiba?”, pintanya dengan mata bulat penuh harap. Aku lagi-lagi
mengangguk. Kali ini dengan senyuman mengembang. Gadis itu kembali tersenyum.
Wajahnya begitu damai walaupun aku tidak mengerti apa maksud kalimatnya, sampai
waktunya tiba.
“Kalau aku
boleh tahu, siapa namamu?” tanyaku.
“Jingga”
Jingga. Pantas
dia selalu menunggui senja datang dan pergi, ternyata senja adalah dia. Jingga.
Aku hanya
duduk dengan desah nafas pelan di sebelahnya. Menungguinya tanpa banyak bicara.
Diam, sepi, dan senyap. Tapi entah mengapa aku merasa bagai di langit ketujuh,
bahagia, walaupun aku belum pernah menginjakkan kakiku di langit ketujuh.
Mendengar desah nafasnya, merasakan kehangatan yang menjalar di sela-sela duduk
kami. Aku merasakan sesuatu yang aneh dalam diriku. Ingin selalu menungguinya
seperti ini setiap hari kalau saja ayah Jingga tidak melarang putrinya duduk
bersamaku menikmati senja di bangku panjang ini.
“ Mungkin aku
tidak akan menunggui senja datang lagi, mungkin aku tidak akan melihat barisan
induk-anak burung pulang ke sangkarnya lagi, karena aku akan menghilang bersama
sang mentari. Aku akan pergi, pergi jauuuh sekali. . .
“ Aku bahagia
sempat duduk di sini bersamamu menikmati senja walau matahari telah sempurna
bersembunyi di atas sana. Aku akan menjadi bintang paling terang di langit sana
untuk dirimu. Tapi, jangan pernah berharap pada bintang, karena aku tak mungkin
kembali dan memberimu sejuta harapan, sejuta mimpi indah. Aku hanya akan
membuat hidup mu hampa, kosong tak berarti jika kau berharap pada bintang.
“ Tunggulah
sang mentari datang esok hari walaupun dia akan pergi setiap senja datang.
Jangan khawatir, dia akan datang lagi esok pagi. Begitu seterusnya. Selama
setahun ini aku telah berusaha menjadi matahari di jendela itu, tapi aku sudah
lelah. Aku akan pergi.”
Aku tak
mengerti dengan kata-katanya. Terlalu berat kepalaku memikirkan arti semua
kalimatnya. Perlahan dia menatapku dalam, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi
lidahnya tak dapat digerakkan lagi. Dia hanya mampu tersenyum, indah sekali
melihatnya tersenyum. Pelan, pelan sekali dia meletakkan kepalanya di bahuku.
Aku membiarkannya seolah aku mendapat pesan dari langit bahwa dia benar-benar
akan pergi jauh dan tak akan kembali.
Aku membelai
rambut hitamnya yang panjang, menahan sekuat tenaga butiran air dari mataku.
Sesaat aku merasakan bahagia bersamanya, Tuhan cepat sekali mengambilnya lagi.
Hembusan
nafasnya kian lama kian berat, sekali tersengal terbatuk dan semakin melemah
pula nafasnya. Serasa oksigen seberapa banyak pun tak mampu memenuhi rongga
paru-parunya.
Dia mengangkat
kepalanya, menatapku lembut dengan linangan air mata. Tertatih dia berkata
dengan suara parau. “Te-ri-ma ka-sih, ka-kak.” Sekali lagi tersenyum dan
kembali menyandarkan kepalanya di bahuku. Matanya perlahan tertutup. Desahan
nafasnya tak lagi tersengal, sempurna tidak menghiraukan jutaan bahkan milyaran
oksigen di depannya.
Jingga telah
pergi. Senja berganti dengan gelap. Bintang-gemintang pun gemerlap di langit
sana, seolah Jingga sudah bersama mereka, tersenyum dari atas sana melihatku
terisak mendekap tubuhnya yang dingin, lemas tapi kaku.
**
Jingga gadis
berpenyakit, empat tahun sudah dia menunggui matahari untuk mengajaknya menghilang
di langit sana. Dan senja itu, senja itulah sang matahari menurutinya.
Esok pagi
bersamaan dengan datangnya sang mentari tubuh dingin itu ditenggelamkan dalam
gundukan tanah bertabur mawar merah diantar tangisan sanak-saudara dan teman-temannya.
Begitu pula denganku, tak bisa lagi kusembunyikan kesedihan itu. Kutumpahkan
semuanya dalam tangis.
Sejak hari
itu, setiap senja datang aku akan menunggui sampai langit berubah gelap
menampakkan formasi titik-titik indah, bercahaya, dan yang paling terang itulah
bintangku, Jingga.
Walaupun aku
tak pernah berharap padanya-memenuhi permintaan pertama dan terakhir Jingga-
aku selalu ingin melihatnya bercahaya di langit sana. Sinarilah bumi ini dengan
cahaya indahmu bintang kecilku.
**
so sweet..
BalasHapusterharu deh..
agak dramatis tapi, hehe...
BalasHapusitu bikinnya pas menghayati banget, wkwkwkw
#lupakan dia, Van!