Copyright © About Story
Design by Dzignine
Selasa, 12 Februari 2013

Belalang Abu-Abu


Suatu malam aku pernah bermimpi. Mimpi yang aneh pikirku. Awalnya aku tak mengerti apa arti mimpiku waktu itu. Tapi saat aku mengingat apa yang mengangguku akhir-akhir ini, aku baru menyadari satu hal.


Siang di bulan kemarau yang terik dia berjalan sendirian tanpa teman. Tidak ada yang ingin berteman dengannya, melihatnya pun enggan. Kaki mungilnya yang tidak beralas-tidak mungkin beralas malah-mencoba menyisir jalan yang dipenuhi dedaunan kering yang putus dari rantingnya. Peluh menetes, berkejaran melintasi pipinya. Keringat saja ingin cepat-cepat meninggalkannya, tidak ingin berlama-lama dengannya.
Sungguh malang nasibnya kala itu. Dia menghentikan langkahnya di bawah pohon yang cukup rindang untuk melindunginya dari terik matahari. Duduk berselonjor bersandarkan pohon untuk sejenak mengusir lelah. Pluk!! Sebuah bunga berwarna merah muda menjatuhi kepalanya yang juga mungil. Dipandanginya bunga merah muda itu. Indah. Belum pernah dia menemui bungan seindah itu, bahkan bau wanginya melebihi bau taman bunga dekat tempatnya beristirahat.
Takut-takut dia mendekati bunga itu. Hanya bergerak ke kanan dan ke kiri bunga merah muda itu diterpa angin. Menunggu tangan mungilnya memungut benda merah muda itu sebelum angin membawa bunga itu pergi lagi. Dengan hati-hati tangan mungilnya menyentuh, hanya menyentuh. Kembali ditatap kanan dan kiri. Masih sama. Mereka sedikitpun tidak memperhatikannya, sekedar melihatnya pun tidak. Tangan mungil itu kembali mendekat menyentuh dan merengkuhnya.
Bagus sekali dia. Cantik! Andaikan aku seperti dia, mungkin aku tidak sendirian seperti ini. Ratapnya sedih dalam hati. Hanya dia dan Tuhan yang mendengarnya.
Dia akan memamerkan bunga itu pada semua orang. Bahwa dia yang kelabu mempunyai bunga yang amat indah, wangi, dan mencolok! Dia tak lain adalah belalang malang berwarna abu-abu yang hidup tanpa seorang teman pun. Berjalan sendirian, berbicara sendirian, mengadu pada Tuhan dalam hatinya. Mungkin tidak akan akan ada yang menemui belalang berwarna abu-abu di dunia ini, jika memang Tuhan berkehendak menciptakannya mungkin hanya di negeri ini, tempat belalang itu hidup.
Disapanya Pak Kecoak yang sedang hilir-mudik di dekat tong sampah yang penuh sesak, entah kapan terakhir petugas kebersihan membersihkannya. Dia mendekati Pak Kecoak dengan hati-hati. Perlahan dia tersenyum, melengkungkan garis bibirnya. Pak Kecoak hanya melihatnya sekilas, enggan melihatnya kembali, apalagi berbicara dengannya. Membuang waktu.
Dia tidak menyerah, kembali berjalan mencari teman. Dia melihat ibu laba-laba sedang mengandung. Terlihat ibu laba-laba itu sedang menanti suaminya kembali di jaring-jaring yang susah payah ia buat di sela-sela ranting pohon. Dia menatap ibu laba-laba itu lama, yang ditatap malah membentak! “Pergi kau! Aku tidak ingin nanti anakku berwarna kelabu sepertimu, hidup malang sepertimu. Dasar jelek!!”. Bagai badai yang menghantamnya saat itu. Maki ibu laba-laba itu sempurna menghentikan usahanya. Langit yang sedari tadi cerah memperlihatkan matahari yang dengan nyamannya bertengger di atas sana membakar bumi mulai mendung. Berwarna kelabu.
Air matanya menetes seiring dengan jatuhnya air dari langit yang dikirim Tuhan menemani tangisnya. Mungkin hanya air langit itu yang diutus Tuhan menemaninya sekarang. Sambil tetap mendekap bunga merah muda tadi dia berjalan menyusuri jalan yang kini berair. Kembali dia menemukan pohon, namun tak rimbun. Pohon itu kurus, kering, daunnya hanya tertinggal tiga helai, dan hujan kali ini membayar sudah penderitaannya selama musim kemarau yang mengganas. Dilihatnya pohon itu, kalau saja dia mempunyai kaki pasti dia akan berjingkrak-jingkrak kegirangan.
Dia mengacuhkan pohon itu, hanya berdiri di bawahnya, pasrah pada tiga helai daun yang entah melindunginya atau tidak. Kecipak!! Genangan air di bawah pohon berirama tidak jelas. Sebuah benda kecil berwarna abu-abu jatuh dari pohon. Dia yang sedang khidmat melamun tertoleh melihat benda kecil itu. Apa? Tanyanya dalam hati, lagi-lagi hanya dia dan Tuhan yang mendengar. Benda itu bergerak, oh tidak, dia bergetar. Sejurus kemudian dia sudah berdiri. Ternyata benda itu juga hidup. Matanya mengerjap, mencoba mengenali sekitarnya. Air. Hujan. Basah. Segar. Dan belalang abu-abu. Kembali ia mengerjap. Aiih, ternyata ada belalang berwarna abu-abu!
Benda itu tak lain juga serangga. Entah serangga berjenis dan bernama apa itu, dari negeri mana pula, yang jelas tidak ada di negeri si belalang.
Serangga itu mendekatinya, mengulurkan tangan, melengkungkan garis bibirnya, tersenyum. Si belalang terlonjak kaget, berjalan mundur menghindarinya. Takut. Namun serangga itu tak menyerah, melangkahkan kakinya. Belalang mundur lagi. Maju selangkah. Mundur dua langkah. Maju dua langkah. Mundur empat langkah. Tanpa ampun serangga itu merebut bunga dalam dekapan belalang abu-abu itu. Si belalang tidak terima. Dia berteriak. Untuk yang pertama kalinya. ”Hei!! Itu punyaku!”
Serangga aneh itu malah tersenyum jahil. Lalu menggapai tangan mungil si belalang. Kali ini dia tidak punya waktu untuk menghindar. Digandengnya tangan mungil itu, entah ke mana. Yang jelas, sang serangga tahu ke mana dia harus membawa belalang abu-abu mungil itu. Sepanjang jalan dia tak henti-hentinya tersenyum bahagia, amat bahagia. Sepanjang jalan itu pula si belalang hanya diam, namun jauh dalam hatinya sana, dia berterima kasih pada Tuhan. Ada yang menggenggam tangan mungil itu. Semakin lama mereka berjalan, semakin menghilang pula bayangan mereka berdua. Hilang. Hanya menyisakan jejak kaki di jalanan yang becek. Indah pada waktunya bukan. Tuhan memang adil.
Saat terbangun dari tidurku, aku benar-benar merasa sangat beruntung. Ternyata Tuhan masih sayang padaku. Terima kasih Tuhan.

0 komentar:

Posting Komentar