Suatu malam aku pernah bermimpi. Mimpi yang aneh
pikirku. Awalnya aku tak mengerti apa arti mimpiku waktu itu. Tapi saat aku
mengingat apa yang mengangguku akhir-akhir ini, aku baru menyadari satu hal.
Siang
di bulan kemarau yang terik dia berjalan sendirian tanpa teman. Tidak ada yang
ingin berteman dengannya, melihatnya pun enggan. Kaki mungilnya yang tidak
beralas-tidak mungkin beralas malah-mencoba menyisir jalan yang dipenuhi
dedaunan kering yang putus dari rantingnya. Peluh menetes, berkejaran melintasi
pipinya. Keringat saja ingin cepat-cepat meninggalkannya, tidak ingin
berlama-lama dengannya.
Sungguh
malang nasibnya kala itu. Dia menghentikan langkahnya di bawah pohon yang cukup
rindang untuk melindunginya dari terik matahari. Duduk berselonjor bersandarkan
pohon untuk sejenak mengusir lelah. Pluk!! Sebuah bunga berwarna merah muda menjatuhi
kepalanya yang juga mungil. Dipandanginya bunga merah muda itu. Indah. Belum
pernah dia menemui bungan seindah itu, bahkan bau wanginya melebihi bau taman
bunga dekat tempatnya beristirahat.
Takut-takut
dia mendekati bunga itu. Hanya bergerak ke kanan dan ke kiri bunga merah muda
itu diterpa angin. Menunggu tangan mungilnya memungut benda merah muda itu
sebelum angin membawa bunga itu pergi lagi. Dengan hati-hati tangan mungilnya
menyentuh, hanya menyentuh. Kembali ditatap kanan dan kiri. Masih sama. Mereka
sedikitpun tidak memperhatikannya, sekedar melihatnya pun tidak. Tangan mungil
itu kembali mendekat menyentuh dan merengkuhnya.
Bagus
sekali dia. Cantik! Andaikan aku seperti dia, mungkin aku tidak sendirian
seperti ini. Ratapnya sedih dalam hati. Hanya dia dan Tuhan yang
mendengarnya.
Dia
akan memamerkan bunga itu pada semua orang. Bahwa dia yang kelabu mempunyai bunga yang
amat indah, wangi, dan mencolok! Dia tak lain adalah belalang malang berwarna
abu-abu yang hidup tanpa seorang teman pun. Berjalan sendirian, berbicara
sendirian, mengadu pada Tuhan dalam hatinya. Mungkin tidak akan akan ada yang
menemui belalang berwarna abu-abu di dunia ini, jika memang Tuhan berkehendak
menciptakannya mungkin hanya di negeri ini, tempat belalang itu hidup.
Disapanya
Pak Kecoak yang sedang hilir-mudik di dekat tong sampah yang penuh sesak, entah
kapan terakhir petugas kebersihan membersihkannya. Dia mendekati Pak Kecoak
dengan hati-hati. Perlahan dia tersenyum, melengkungkan garis bibirnya. Pak
Kecoak hanya melihatnya sekilas, enggan melihatnya kembali, apalagi berbicara
dengannya. Membuang waktu.
Dia
tidak menyerah, kembali berjalan mencari teman. Dia melihat ibu laba-laba
sedang mengandung. Terlihat ibu laba-laba itu sedang menanti suaminya kembali
di jaring-jaring yang susah payah ia buat di sela-sela ranting pohon. Dia
menatap ibu laba-laba itu lama, yang ditatap malah membentak! “Pergi kau! Aku
tidak ingin nanti anakku berwarna kelabu sepertimu, hidup malang sepertimu.
Dasar jelek!!”. Bagai badai yang menghantamnya saat itu. Maki ibu laba-laba itu
sempurna menghentikan usahanya. Langit yang sedari tadi cerah memperlihatkan
matahari yang dengan nyamannya bertengger di atas sana membakar bumi mulai
mendung. Berwarna kelabu.
Air
matanya menetes seiring dengan jatuhnya air dari langit yang dikirim Tuhan
menemani tangisnya. Mungkin hanya air langit itu yang diutus Tuhan menemaninya
sekarang. Sambil tetap mendekap bunga merah muda tadi dia berjalan menyusuri
jalan yang kini berair. Kembali dia menemukan pohon, namun tak rimbun. Pohon
itu kurus, kering, daunnya hanya tertinggal tiga helai, dan hujan kali ini
membayar sudah penderitaannya selama musim kemarau yang mengganas. Dilihatnya
pohon itu, kalau saja dia mempunyai kaki pasti dia akan berjingkrak-jingkrak
kegirangan.
Dia
mengacuhkan pohon itu, hanya berdiri di bawahnya, pasrah pada tiga helai daun
yang entah melindunginya atau tidak. Kecipak!! Genangan air di bawah pohon berirama tidak
jelas. Sebuah benda kecil berwarna abu-abu jatuh dari pohon. Dia yang
sedang khidmat melamun tertoleh melihat benda kecil itu. Apa? Tanyanya
dalam hati, lagi-lagi hanya dia dan Tuhan yang mendengar. Benda itu bergerak,
oh tidak, dia bergetar. Sejurus kemudian dia sudah berdiri. Ternyata benda itu
juga hidup. Matanya mengerjap, mencoba mengenali sekitarnya. Air. Hujan. Basah.
Segar. Dan belalang abu-abu. Kembali ia mengerjap. Aiih, ternyata
ada belalang berwarna abu-abu!
Benda
itu tak lain juga serangga. Entah serangga berjenis dan bernama apa itu, dari
negeri mana pula, yang jelas tidak ada di negeri si belalang.
Serangga
itu mendekatinya, mengulurkan tangan, melengkungkan garis bibirnya, tersenyum.
Si belalang terlonjak kaget, berjalan mundur menghindarinya. Takut. Namun
serangga itu tak menyerah, melangkahkan kakinya. Belalang mundur lagi. Maju
selangkah. Mundur dua langkah. Maju dua langkah. Mundur empat langkah. Tanpa
ampun serangga itu merebut bunga dalam dekapan belalang abu-abu itu. Si
belalang tidak terima. Dia berteriak. Untuk yang pertama kalinya. ”Hei!! Itu
punyaku!”
Serangga
aneh itu malah tersenyum jahil. Lalu menggapai tangan mungil si belalang. Kali
ini dia tidak punya waktu untuk menghindar. Digandengnya tangan mungil itu,
entah ke mana. Yang jelas, sang serangga tahu ke mana dia harus membawa
belalang abu-abu mungil itu. Sepanjang jalan dia tak henti-hentinya tersenyum
bahagia, amat bahagia. Sepanjang jalan itu pula si belalang hanya diam, namun
jauh dalam hatinya sana, dia berterima kasih pada Tuhan. Ada yang menggenggam
tangan mungil itu. Semakin lama mereka berjalan, semakin menghilang pula
bayangan mereka berdua. Hilang. Hanya menyisakan jejak kaki di jalanan yang
becek. Indah pada waktunya bukan. Tuhan memang adil.
Saat terbangun dari tidurku,
aku benar-benar merasa sangat beruntung. Ternyata Tuhan masih sayang padaku. Terima
kasih Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar